Rabu, 13 November 2013

#5BukuDalamHidup : On The Road - Jack Kerouac


On The Road - Jack Kerouac

Saya hampir menyerah untuk menulis di hari kedua #5BukuDalamHidup, tetapi ada motivasi tersendiri kalau mengingat saya akan bercerita tentang On The Road-nya Jack Kerouac. Buku ini terlalu berharga untuk dilewatkan, buku yang hebatnya dapat menghadirkan mimpi buat saya. Mimpi untuk menjadi bebas, memiliki banyak waktu untuk menyusuri sepanjang jalan sejauh apapun itu. Mimpilah yang menjadikan buku ini begitu spesial bagi saya, karena dalam mimpi tersebut saya masih merasa hidup.


Somewhere along the line I knew there'd be girls, visions, everything; somewhere along the line the pearl would be handed to me.

Kalimat tersebut merupakan penutup bab pertama bagian kesatu buku Kerouac yang juga menjadi magnum opus-nya, On The Road. Buku ini menceritakan perjalanannya bersama temannya yang ikonik, Neal Cassidy, untuk melintasi Amerika hingga ke Mexico dengan segala suka duka, konflik, dilema dan drama di dalamnya yang dituliskan dalam bentuk novel. On The Road menandai kebangkitan Beat Generation pada akhir 50an di Amerika sekaligus menerjemahkan apa itu Beat Generation itu sendiri. Bagi saya novel ini juga ikut menerjemahkan keinginan saya pribadi.
Dalam impian saya, saya ingin sekali bisa mengelilingi dunia, berjalan-jalan dari satu negara ke negara yang lain, bertemu banyak orang yang tidak saya kenal sebelumnya, berbicara dalam bahasa yang tidak pernah saya gunakan. Saya tidak punya waktu untuk itu semua, atau semoga saja hanya belum punya waktu untuk itu. Setelah lulus kuliah saya langsung bekerja di ibukota, bekerja dari hari senin sampai jumat, untuk libur di sabtu dan minggu lebih sering saya gunakan untuk berkumpul dengan teman atau orang tua dirumah, kadang-kadang saya habiskan hanya untuk tiduran. Dalam setahun dikasih jatah cuti 12 hari, dan habis terpotong cuti bersama atau test kerja sana-sini, intinya saya belum punya waktu untuk menyusuri jalan mengelilingi dunia.
Sebenarnya dengan uang tabungan saya bekerja 2 tahun ini cukup jadi modal melakukan perjalanan, namun alasan lebih dalam saya belum melakukannya adalah saya terlalu takut untuk melepas pekerjaan, melepas gaji yang lumayan setiap bulannya untuk melakukan perjalanan. Kata teman saya, saya takut miskin padahal bekerja sebagai karyawan pun tak membuat saya jadi kaya. Saya masih main-main di zona aman dan nyaman dalam hidup hingga memendam mimpi saya tentang perjalanan. Mimpi itu hanya tersalurkan melalu membaca buku, dan On The Road lebih dari pas menggambarkan mimpi saya itu, atau seperti yang saya sebutkan sebelumnya; menerjemahkan keinginan saya.
Dengan membaca novel ini, saya merasa peran saya yang dilakon Sal Paradise tambahannya saya punya teman melakukan perjalanan tersebut, dengan Dean Moriarty. Dalam peran itu saya menyetir mobil menyusuri jalanan jauh, menonton jazz di malam hari, minum bir tak putus-putus sampai mampus, menghisap mariyuana dan tidur dengan gadis-gadis cantik. Hal-hal yang sebagian besar sering saya lakukan, tetapi peran itu dimainkan dalam setiap kata di setiap halaman yang saya baca entah kenapa lebih nikmat. Kebebasan, tanpa adanya keterikatan dalam melakukan hal-hal tersebut yang tidak saya dapatkan. Dalam peran itu mimpi saya sesungguhnya hadir dan menjadikan saya merasa hidup oleh karenanya.
Di mimpi yang saya mau menyetir mobil menyusuri jalan itu adalah untuk bertualang, bukan menyetir mobil pulang kerja dan terjebak macet berjam-jam. Saya juga mau minum bir tak putus-putus tanpa khaawatir keesokan harinya tak bangun dan terlambat kerja. Saya mau menonton jazz di malam hari bukan melalui Youtube. Untuk menghisap mariyuana dan tidur dengan gadis-gadis cantik siapa yang tak mau?

Nothing behind me, everything ahead of me, as is ever so on the road

Berhubung ini persoalan mimpi, ini persoalan apa yang hendak akan saya lakukan. Semoga saja ada waktu untuk menjadi Sal Paradise di On The Road. Banyak hal yang perlu dibenahi dan dipersiapkan untuk melakukan mimpi-mimpi itu agar jadi kenyataan. Untuk sementara ini saya hanya bisa mencoba optimis seperti Sal dalam menghadapi segala sesuatunya. Ya setidaknya menjalani rutinitas menjadi seorang karyawan swasta yang 8 jam kerja/hari pun sebuah petualangan tersendiri, kadangkala menyenangkan juga.

we had longer ways to go. But no matter, the road is life

Manado, 13 November 2013



1 komentar:

  1. akhirnya selesai juga nih nulis si magnum opus. hahahaha. hari ketiga akan lebih berat

    BalasHapus