Jumat, 26 September 2014

Tentang Burhan dan Negara Kaya

Ketika masih duduk di SD Siang Malam Genjot Terus, seringkali Burham mendengar dari Bapak dan Ibu Guru yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara kaya. Ilustrasinya begini, Indonesia adalah negara dengan luas hampir 2 juta kilometer persegi maka logikanya dengan luas sedemikan rupa banyak kekayaan yang terkandung di dalamnya. Dengan logika seperti itu, kekayaan yang dimaksud berasal dari sumber daya alam, baik berupa hasil laut, pertanian, perkebunan hingga minyak dan gas. Ditambah dengan posisi geografis Indoesia dan jumlah populasi mendekati 250 juta jiwa maka potensi kekayaan tersebut dapat terkelola dengan baik. Kira-kira logika bapak dan ibu guru Burhan di sekolah dasar yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara kaya dibangun seperti itu, Burhan manggut-manggut tanda mengerti. Guru-guru di SD Siang Malam Genjot Terus memang melulu mengajar konsep dasar, seperti 4x6 adalah berbeda dengan 6x4.
Ketika sudah memasuki sekolah menengah pertama, Burhan bersekolah di SMP Negeri Diatas Awan. Teori yang pernah menyebutkan indonesia sebagai negara kaya dipertanyakan oleh Burhan kembali. Sebenarnya guru-guru di sekolah menengah pertama tersebut ingin menekankan kembali bahwa Indonesia adalah negara kaya namun Burhan adalah seorang anak dengan penuh rasa penasaran. Baginya sebuah negara disebut kaya tentu diukur dari kekayaannya, sederhananya demikian. Pasalnya, ia teringat ketika anak-anak lain sudah menggunakan handphone sedang Burhan belum memilikinya, teman-teman Burhan tersebut mempertanyakan apakah Burhan anak orang kaya atau tidak sebenarnya. Ibu guru di sekolah Burhan mencoba menjelaskan kepada Burhan, menarik lurus keatas secara definisi terlebih dahulu, kekayaan negara Indonesia merupakan ruang lingkup keuangan negara artinya semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Burhan bingung, dan bertanya:
“Kalau begitu apa saja yang termasuk hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang tersebut?”
“Kita lihat dari tiga sisi Burhan; dari sisi obyek, subyek dan tujuannya. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.”
“Bu, kan ada disebutkan kalau bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara, berarti termasuk dong bu?”
“Kan saya bilang yang dimiliki, dan/atau dikuasai oleh negara juga, berarti termasuk dong! nyimak gak sih?”
“Bu, ibu ngomongnya ribet sih, jadi kalau kekayaan negara meliputi apa saja bu?”
“Ya sederhananya sih mencakup segala sesuatunya baik berbentuk uang maupun barang, yang berwujud atau tidak baik bergerak atau tidak bergerak yang dimiliki, dikuasai serta kekayaan negara yang dipisahkan”
“Kok ada yang dipisahkan bu? Kenapa mereka harus berpisah bu? Apakah tidak ada lagi kecocokan diantara mereka?” Burhan mulai menitikkan air mata.
“Suatu saat kamu akan mengerti Burhan, mungkin ketika kamu lebih dewasa” ucap Ibu Guru sambil mencoba menenangkan Burhan.
***
Berhubung Burhan adalah anak yang nakal dan terlalu banyak menghisap lem aibon, ia masuk ke sekolah menengah atas yang tidak favorit. Dengan nilai ujian nasional yang semenjana, Burhan hanya bisa tembus di SMA CP NEH, SMA AQ AJA DECH. Masa-masa SMA memang penuh masa-masa cinta, seperti halnya Burhan yang mulai jatuh cinta dengan seorang gadis, Sheila namanya. Kisah cinta Burhan rupanya mirip-mirip dengan FTV, Sheila justru berpacaran dengan Amir, apalah daya cinta memang tak harus memiliki, pikir Burhan begitu. Ngomong-ngomong soal memiliki, Burhan masih bingung dengan konsep memiliki, menguasai atau bahkan memisahkan. Ia pun kembali bertanya dengan bapak guru di sekolahnya.
“Kalau memiliki itu misalkan Barang Milik Negara, artinya adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Perolehan lain yang sah itu dapat meliputi yang diperoleh dari hibah, berdasarkan perjanjian, berdasarkan ketentuan perundang-undangan maupun dari putusan pengadilan. Sederhananya adalah semua barang yang dibeli sendiri dan/atau yang kepemilikannya atas nama negara”
“Berarti seandainya cinta saya memiliki Stella, hanya apabila secara sah ya pak. Kalau menguasai dan juga memisahkan itu yang seperti apa pak?”
“Ya menguasai itu seperti halnya bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu dikuasai negara, berbeda secara konsep dengan memiliki, dalam hal legitimasi kepemilikan kira-kira” bapak guru yang sudah mulai bosan menjawab pertanyaan burhan terdiam sejenak, membakar rokok lalu melanjutkan kembali.
“Sedangkan memisahkan bisa kita ambil contoh kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Karena sudah dipisahkan pengelolaannya serta pertanggungjawabannya secara teknis pun berbeda, lebih kearah korporasi.”
Berbekal tambahan pengetahuan yang lumayan, Burhan memberanikan diri untuk berbincang kembali dengan ibu Gurunya di SMP Negeri Diatas Awan. Ia sudah mengerti perkara kekayaan yang dimiliki, dikuasai serta dipisahkan. Burhan menjelaskan, kekayaan adalah aset dalam bahasa lainnya.
“Jadi bu kalau kita berbicara tentang kekayaan maka kita bicara tentang aset sesungguhnya. Aset itu adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.” 
“Kalau gitu Burhan, dulu kamu bertanya pada Ibu apakah negara kita adalah negara kaya, bagaimana menurutmu sekarang”
Burhan terdiam, sungguh pun ia tak tahu jawaban atas pertanyaan ibu gurunya tersebut. Burhan tidak benar-benar tahun kekayaan negaranya sehingga ia pun tak berani mengatakan apakah negaranya kaya atau tidak kaya.
“Tapi bu, lihatlah tahun 2013 saja, Barang Milik Negara ini yang sudah tercatat nilainya 1.816 triliun bu, angka yang besar bukan? Misalkan kita lihat dari sisi aset pemerintah pusat saja bu, yang itu meliputi aset tetap, aset lancar, aset lainnya termasuk investasi dan piutang sudah mencapai 3.567 triliun di tahun 2013 bu”
“Bagaimana dengan yang kamu sebut kekayaan yang dipisahkan tadi?”
“Wah itu tidak kalah banyak, bisa mencapai 1.218 triliun, di tahun 2013 juga bu”
“Kalau nilai kekayaan yang terkandung dalam bumi, misalkan laut dan segala macamnya yang mana termasuk kekayaan yang dikuasai oleh negara?”
“Itu... itu saya belum tahu bu?” Burhan mulai gelagapan mennjawab pertanyaan ibu gurunya.
“Jadi sekarang, ibu bertanya lagi, apakah negara kita adalah negara kaya?”
“Saya tidak tahu bu”


Pontianak, 26 September 2014

Sabtu, 20 September 2014

Tentang Perjalanan

“We had longer ways to go. But no matter, the road is life”
-          Jack Kerouac, On The Road 

Untuk melakukan sebuah perjalanan, saya rasa, tidak perlu mencantumkan label diri sebagai pelancong. Untuk melakukan perjalanan pula, tak perlu berangkat dengan tendensi untuk bertamasya. Bisa saja melakukan perjalanan didasarkan oleh takdir, seperti saya sendiri misalkan, yang melakukan perjalanan atas dasar takdir.
Baru-baru ini saya mengingat bahwa saya cukup banyak melakukan perjalanan dari kota ke kota bukan dengan keinginan saya. Kalau bukan dengan keinginan saya sendiri, maka keinginan yang maha oke barangkali, makanya saya sebut perjalanan yang saya lakukan didasarkan oleh takdir. Takdir perjalanan saya diejawantahkan dengan berbagai cara; ikut dengan orang tua yang pindah tugas, kuliah, kerja, mendapat tugas dinas dan yang paling baru saya alami adalah SK Mutasi! Hore! Saya tak perlu repot-repot menunggu liburan panjang untuk melakukan perjalanan dari kota ke kota tersebut.
Sesungguhnya, selain atas dasar takdir tersebut saya juga banyak melakukan perjalanan sendiri atau melakukan perjalanan dalam waktu singkat, namun agar mempermudah kalkulasi perjalanan, saya hitung dari tempat dimana saya menetap lebih dari 30 hari. Kurang lebih rinciannya seperti ini; (1) Sekayu, Sumatera Selatan-Tarutung, Sumatera Utara (1081 KM). Saya lahir di Provinsi Sumatera Selatan dan lebih tepatnya di Sekayu. Menurut ibu saya, 20an tahun yang lalu, tempat ini minim akan fasilitas dan tidak layak direkomendasikan untuk menghabiskan hidup ala selebriti (oke!). Dibawah kesadaran saya, karena waktu itu saya benar-benar belum sadar sudah menjadi manusia, saya pindah -bersama orang tua saya tentunya- ke Tarutung, kota kecil di Sumatera Utara namun indah. Perjalanan jarak jauh pertama yang saya lakukan. Tarutung ini adalah tempat dimana saya sadar bahwasanya saya seorang manusia, seorang lelaki (dengan dibuktikan dari cara membuang air kecil), dapat berbicara dan dapat melakukan kegiatan-kegiatan kinetik. Kurang lebih 5 tahun saya tinggal di Tarutung, yang paling berkesan adalah kota ini mengenalkan saya pada hidup, dalam artian yang paling sederhana. (2) Tarutung, Sumatera Utara-Pekanbaru, Riau (423 KM). Walaupun saya sudah menjadi manusia meskipun memang belum cakap menurut hukum, saya tetap tidak dapat menolak untuk ikut pindah kota lagi, dari Tarutung ke Pekanbaru. Perjalanan kedua yang masuk dalam kualifikasi perjalanan atas dasar takdir ini. Kebetulan saya mampir di kota Pekanbaru cukup lama, sampai saya menamatkan pendidikan sekolah menengah di kota ini.
Sebenarnya saya melanggar syarat tulisan ini. Perjalanan kali ini tak murni sekadar takdir, ada keinginan saya untuk memulai perjalanan hidup sendiri. Rasanya sangat sayang melewatkan bagian mampir ke kota terbaik yang pernah saya tinggal ini. (3) Pekanbaru, Riau-Yogyakarta, DI Yogyakarta (1868 KM). Saya pergi ke Jogja dengan tujuan kuliah. Tinggal di kota ini dalam kurun waktu kurang lebih 4 tahun mengenalkan saya dengan hidup lebih jauh, lebih rumit dan lebih berarti. Tidak hanya sekadar mengenalkan saja, kota ini lebih tepatnya mengajarkan saya tentang hidup. Kalau hidup sekadar mampir untuk minum, maka saya mampir di kota ini untuk minum sangat banyak, perkara rasa minumannya memang bermacam-macam namun tetap membuat saya haus untuk mampir lagi ke kota ini.
Fase ketiga dalam hidup saya, seperti orang pada umumnya, setelah lahir, sekolah kemudian harus bekerja, saya mulai di Jakarta. Takdir juga yang mengharuskan saya berangkat ke Jakarta. (4) Yogyakarta, DI Yogyakarta-Jakarta, DKI Jakarta (549 KM). Pengalaman pertama saya untuk bekerja dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Tidak begitu lama, saya mendapat tugas di kota lain dan melakukan perjalanan lagi, tidak jauh-jauh dari jakarta, cukup bergerak ke selatan sedikit. (5) Jakarta, DKI Jakarta-Serpong, Banten-Jakarta, DKI Jakarta (65.8 KM). Setahun bekerja di Serpong saya kembali lagi ke Jakarta. Seiring waktu juga, saya mendapat beberapa tugas dari kantor ke luar kota ada dua kota yang saya habiskan untuk tinggal diatas 1 bulan; (6) Jakarta, DKI Jakarta-Surabaya, Jawa Timur (786 KM) dan (7) Jakarta, DKI Jakarta-Manado, Sulawesi Utara (3867 KM). Sampai akhirnya saya memutuskan pindah kerja dan kebetulan diterima di sebuah instansi pemerintah.
Seperti yang saya bilang sebelumnya, takdir bisa menjelma dengan berbagai cara, salah satunya adalah SK mutasi. Penempatan pertama saya sekaligus perjalanan pertama saya selaku pegawai di salah satu instansi pemerintah. (8) Jakarta, DKI Jakarta-Pontianak, Kalimantan Barat (811 KM). Melengkapi 9450,8 km perjalanan di usia saya yang belum genap 23 tahun. Sebulan lewat 3 hari sudah saya tinggal di kota ini, sebulan yang pertama karena saya tidak akan pernah tahu sampai kapan tinggal di kota ini. Saya belum mengenal betul kota ini, provinsi ini, namun bertemu dan berkenalan dengan orang-orang yang menyenangkan memberikan kesan kota ini akan menyenangkan. Ya disini saya bertemu orang-orang yang sungguh menyenangkan, yang menyambut saya dengan ramah dan hangat, berbaik hati mengajak saya berkenalan dengan kota ini. Hal itu menyadarkan saya bahwa perjalanan atas dasar takdir ini memang kehendak yang maha oke untuk mengajarkan saya untuk menyenangi hidup. Yang maha oke tersebut pulalah yang memainkan takdir dengan cara-cara menyenangkan.
***
Suatu hari, seorang asing pernah berpendapat menarik tentang hidup kepada saya. Katanya waktu itu, hidup seperti sebuah kereta dimana kita adalah keretanya yang sedang berjalan di satu rel ke suatu tujuan. Selama perjalanan itu kita akan berhenti ke beberapa tempat, melihat-lihat sejenak. Selama perjalanan itu, orang-orang akan keluar dan masuk, orang-orang tersebut adalah keluarga, teman, sahabat, relasi, pacar, istri, atau siapapun yang akan menemani perjalanan kita. Bagaimanapun dan siapapun yang ada dalam perjalanan tersebut, kereta itu tetap memiliki tujuannya masing-masing dan satu stasiun pemberhentian terakhir.


Pontianak, 20 September 2014