Rabu, 29 Oktober 2014

Tentang Melihat Jokowi

Ada yang menarik dari cerita kedatangan Jokowi ke Kabanjanhe yang datang untuk mengunjungi pengungsi Sinabung. Dalam berita yang dimuat oleh Kompas.com menyebutkan seorang pria sampai harus memanjat pohon di lokasi pengungsian Universitas Karo, Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara untuk bisa melihat secara leluasa melihat Presiden Joko Widodo*. Kisah ini mirip rasanya dengan kisah Zakeus dalam injil.
Tentu saya bisa dianggap melakukan penistaan agama apabila menyamakan figur Yesus dengan Jokowi. Selain sosok Yesus yang dianggap suci bagi banyak orang, Jokowi sepanjang yang saya tahu pun tak penah melakukan mukjizat, ia tidak bisa mengubah air menjadi anggur atau menghidupkan orang yang mati menjadi hidup kembali. Jadi mari sekadar menyamakan kisahnya saja.
Dari yang dikisahkan pada Lukas 19:1-10 disebukan, Zakheus seorang kepala pemungut cukai berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu, tetapi ia tidak berhasil karena orang banyak, sebab badannya pendek.Maka berlarilah ia mendahului orang banyak, lalu memanjat pohon ara untuk melihat Yesus, yang akan lewat di situ. Rasa penasaran Zakeus didorong oleh keinginan untuk memastikan apakah Yesus yang didengarnya telah melakukan mukjizat itu benar-benar dapat berbuat demikian. Mungkin pria itu pun demikian, ia ingin melihat Jokowi langsung dan memastikan Jokowi benar seperti yang diceritakan oleh koran-koran yang dibacanya atau diberitakan oleh televisi yang ditonton olehnya. Saya tidak tahu pasti, saya tidak kenal pria yang memanjat pohon itu, Jokowi maupun Zakeus secara personal, tapi mungkin seperti itulah kira-kira.
Ketika Morrissey datang ke Indonesia 2 tahun yang lalu, saya juga berdesakan dengan banyak orang untuk sampai ke ujung depan panggung. Saya ingin melihatnya secara jelas dan memastikan beberapa hal: (1) Morrissey yang datang adalah orang yang sama dengan gambar yang terpampang di album-albumnya, (2) aksi panggungnya sedahsyat liputan konser-konsernya sebelum ini dan (3) ia benar-benar dapat bernyanyi lagu-lagu kesukaan saya. Ya saya, pria di Kabanjahe tersebut maupun Zakeus ingin memastikan dengan melihat sosok dari yang selama ini hanya kami dengar atau bayangkan. Banyak harapan yang terkandung dari rasa penasaran itu, hasilnya? Belum tentu sama, bisa jadi banyak mengecawakan. Morrissey misalkan, terlalu gendut dan terlihat tua dibandingkan dengan yang saya bayangkan.
Jokowi bisa dibilang fenomenal, dalam waktu yang bisa dibilang singkat, ia dapat tampil menjadi figur yang dikagumi banyak orang. Boleh jadi ia sosok yang disebut from zero to hero. Kita tidak mengenal Jokowi sebelum ia menjabat walikota Solo, menjadi Gubernur Jakarta hingga secara dramatis terpilih menjadi presiden Indonesia ke-7. Dari pemberitaan media kita mengetahui bahwa ia dapat membuat perubahan bagi negara ini. harapan begitu besar digantungkan padanya. Bahkan ada yang menganggapnya Satrio Piningit, okelah itu terlalu mengkultuskannya, intinya kehadirannya sebagai presiden baru bisa membawa perubahan negara ini menuju lebih baik.
Tentu, Jokowi bukanlah Yesus, Satrio Piningit ataupun semacamnya. Ia manusia biasa seperti kita. Pada pidato kepresidenan pertamanya ketika dilantik, ia menekankan semangat untuk bekerja. Katanya pada saat itu: Kerja, kerja, kerja! Bekerja sebagai pembuktian dari janji-janjinya dan bekerja untuk mewujudkan visi dan misi yang dibawanya. Ia mengajak untuk sama-sama bekerja, namun sebagai tentu kita juga berharap pekerjaan kita tidak sia-sia. Pada posisinya sebagai presiden, kita berharap ia melakukan hal-hal nyata. Bagi para pengungsi Sinabung salah satunya.
Pria yang memanjat pohon itu adalah salah seorang pengungsi Sinabung. Mungkin sama dengan pengungsi lainnya, mereka berharap ada perhatian dan tindakan untuk menyelamatkan mereka dari penderitaannya. Mereka mungkin berharap dapat direlokasi dan diberikan pekerjaan untuk tetap dapat hidup. Mereka membutuhkan rumah tinggal dan ladang untuk bercocok tanam. Yang paling memungkinkan, mereka berharap tidak kecewa dengan presiden baru ini, tidak kecewa dengan kenyataan misalkan nanti Jokowi tidak sama dengan yang mereka dengar dan lihat di media massa, tidak sama dengan janji-janjinya ketka kampanye lalu. Mereka mungkin berhapa bapak presiden mau mengajak pria itu turun dari pohon -tidak perlu sampai menginap dirumahnya juga- dan memberikan kepastian untuk dapat mewujudkan harapan-harapannya.


* berita tersebut dapat diakses disini

Rabu, 22 Oktober 2014

Always be drunk.
That's it!
The great imperative!
In order not to feel time's horrid fardel

bruise your shoulders,
grinding you into the earth,
Get drunk and stay that way.
On what?
On wine, poetry, virtue, whatever.
But get drunk.
And if you sometimes happen to wake up
on the porches of a palace,
in the green grass of a ditch,
in the dismal loneliness of your own room,
your drunkenness gone or disappearing,
ask the wind,
the wave, the star, the bird, the clock,
ask everything that flees,
everything that groans
or rolls or sings,
everything that speaks,
ask what time it is;
and the wind,
the wave, the star, the bird, the clock
will answer you:
"Time to get drunk!
Don't be martyred slaves of Time,
Get drunk!
Stay drunk!
On wine, virtue, poetry, whatever!" 
(Charles Baudelaire-Get Drunk)

Salah satu hal yang bisa disyukuri mendapat penempatan jauh dari Jakarta adalah memiliki banyak waktu luang. Setidaknya begitu pendapat saya pada awalnya. Tidak tinggal menetap dan bekerja di Jakarta sekitarnya maka saya akan memiliki tambahan waktu kurang lebih 2 jam dari selisih terjebak macet ketika berangkat dan pulang bekerja. Saya juga akan memiliki tambahan waktu 5 jam dari selisih tidak keluyuran selepas pulang bekerja dan mendapat tambahan 38 jam di akhir pekan yang sibuk di Ibukota. Sepertinya salah. Ternyata waktu disini bisa berjalan dengan cepat juga, hanya terkadang saya sadar kalau dilewati begitu saja. 

Kamis, 09 Oktober 2014

Tentang Ulang Tahun

Pertengahan bulan Oktober, Clara berusia tepat 23 tahun, lebih tua 2 bulan dariku. Suatu hal yang aneh rasanya menyadari Clara yang akan berusia 23 tahun ini. Aku hanya merasa satu-satunya hal yang masuk akal, baginya atau bagiku, adalah berusia diantara 21 dan 22. Seandainya dapat begini; ketika berusia 21 lalu kemudian berulang tahun untuk usia ke 22, setelah 22 kembali ke usia 21. Namun kali ini ia akan berusia 23 dan nanti di bulan Desember, aku juga sama. Ya, memang hanya orang mati tetap di usia 20 selamanya.
Hujan turun menyambut hari ulang tahun Clara, namun bagaimanapun aku sudah berjanji untuk datang ke rumahnya. Sepulang kerja aku menyempatkan diri untuk mampir membeli kue ulang tahun untuknya di toko roti yang tidak jauh dari kantorku. "Kita harus membuat perayaan!" kataku. Aku juga akan menginginkan hal yang sama jika aku berada diposisinya saat ini. Pasti sebuah hal yang sulit untuk berulang tahun sendirian. Pukul dua belas kurang, aku sudah memasang lilin diatas kue ulang tahunnya, menyalakannya, lalu mematikan lampu, aku memang memiliki bakat untuk merayakan ulang tahun. Clara sudah menyiapkan empat kaleng bir. Kami minum, makan kue ulang tahun tersebut, dan menikmati perayaan ulang tahun yang sederhana.
"Entahlah, aku hanya merasa tolol berusia 23" katanya. "Aku merasa belum siap. Rasanya aneh, seperti ada orang yang mendorongmu dari belakang”
"Aku punya dua bulan untuk bersiap-siap untuk itu" kataku sambil tertawa.
"Kau sangat beruntung masih 22!" Clara mengatakan dengan nada iri.
Selesai menyantap kue ulang tahun, kami membersihkan meja dan aku duduk di lantai, Clara tiduran diatas kakiku sambil mendengarkan musik dan minum sisa bir yang ada. Clara luar biasa cerewet malam itu. Dia bercerita tentang masa anak-anaknya, sekolahnya, keluarganya dan apa saja yang ada diingatannya. Dengan telaten ia menceritakan semuanya, aku kagum pada kekuatan ingatannya. Hujan kembali turun melewati jendela. The Doors menyanyikan People Are Strange untuk kedua kalinya. Waktu bergerak sangat perlahan. Clara terus berbicara sendiri, merangkai ingatannya.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi, terus terang aku sudah mulai gelisah. Clara berbicara tak henti selama lebih dari dua jam. Aku mulai mengantuk dan menunggu kesempatan memotong pembicaraannya. "Waktunya untuk pulang," kataku sambil melihat jam tanganku. "Sudah terlalu larut, kau pun harus tidur"
Ucapanku barusan tampaknya tidak mengusiknya sedikit pun, atau mungkin dia memang sengaja tidak memperdulikannya. Sejenak ia memang terdiam, tetapi kemudian clara melanjutkan ceritanya. Aku menyerah, memperbaiki posisi dudukku agar terasa lebih nyaman, kakiku mulai kesemutan memangku kepalanya. Aku membuka kaleng bir kedua.
Aku mulai berpikir tampaknya lebih baik membiarkan dia berbicara. Kantuk dan bosan biar kulawan sendiri.
Tidak begitu lama setelah memperbaiki posisi dudukku, Clara berhenti bicara. Kata-kata pada kalimat terakhirnya tidak begitu jelas kutangkap, semperti mengambang di udara begitu saja. Aku rasa dia memang tidak benar-benar menyelesaikan kalimatnya. Ingatan yang panjang lebar ia ceritakan menghilang tiba-tiba, dan mungkin akulah orang yang telah menghilangkannya. Ucapanku sepertinya baru mengusiknya sekarang, butuh waktu untuk mencernanya dan kemudian mencabut ingatannya.
Kami berdua sama-sama terdiam sapai bibirnya sedikit terbuka, ia memalingkan wajahnya namun setengah dari pandangannya tetap tertuju padaku. Menghakimiku atas dakwaan telah menghilangkan ingatannya yang akan panjang lebar ia ceritakan. Dia tampak seperti jam weker yang dicabut baterainya dengan paksa. Matanya tiba-tiba terlihat mendung, membran tipis terlihat dimatanya memaksa menahan air mata .
"Maaf mengganggu," kataku, "tapi sudah malam, dan ..."
Tangis tumpah dari matanya, membasahi pipinya dan terpercik ke bajunya. Setelah air mata pertama tumpah, air mata berikutnya mengalir tak putus-putus. Clara mulai membungkuk ke lantai, kedua telapak tangan menutupi wajahnya dan menangis. Aku masih bisa mendengar suara tangisnya meski ia sudah menahan dengan kedua telapak tangannya. Seumur hidup aku belum pernah melihat orang menangis begitu hebat. Aku coba untuk merangkulnya.
Kemudian, semua terjadi begitu alami, aku membawanya ke dalam pelukanku. Aku merasakan tubuhnya yang gemetar karena menangis sampai ia mulai menangis tanpa suara. Kemejaku basah oleh air mata dan dan dadaku terasa hangat karena nafasnya. Tanganya kini mulai melingkari punggungku. Tangan kiri kugunakan untuk menopang badannya, sedang tangan kanan kugunakan untuk membelai lembut, rambutnya yang lurus. Aku Menunggu. Dengan posisi seperti itu, aku menunggu untuk Clara berhenti menangis. Dan aku menunggu, tetapi Clara menangis tak henti.
Aku tidur dengannya malam itu. Apakah hal itu pantas untuk dilakukan? entahlah. Aku rasa aku tidak akan pernah tahu. Pada saat itu, hanya itu yang bisa kulakukan. Ketika itu Clara berada dalam puncak stres dan kebingungan, dan ia ingin aku menenangkannya. Aku mematikan lampu dan memulainya, dalam satu waktu, dengan sentuhan yang paling lembut yang bisa aku berikan, aku melepas seluruh pakaiannya.
Lalu aku melepas pakaianku juga. Aku masih merasa hangat, meski hujan bulan Oktober turun malam itu, aku rasa ia pun merasa hangat dan kami tetap tidak menggunakan sehalai pakian pun tanpa merasa dingin. Kami menjelajahi tubuh satu sama lain, di dalam kegelapan tanpa berkata-kata. Aku menciumnya dan memegang dadanya dengan lembut, ia membangkitkan gairahku.
Aku mulai bercinta dengannya, Clara mengerang kesakitan. “Apakah ini yang pertama kali?” Aku menanyakannya dan ia mengangguk. Sekarang giliranku berada pada puncak kebingungan. Selama ini aku berpikir Clara sudah tidur dengan kekasihnya. Aku terus masuk lebih dalam lalu berhenti untuk beberapa waktu, tanganku memegang tubuh Clara, tanpa bergerak. Dan kemudian, sesaat ia mulai tampak tenang, aku membiarkan diriku untuk bergerak lagi ke dalam dirinya, ada waktu yang cukup lama untuk mencapai klimaks, dengan gerakan lambat dan lembut. Tangannya menggenggam lenganku begitu erat, hingga teriaknnya akhirnya memecah keheningan. Teriakan orgasme paling menyedihkan dari yang pernah kupernah dengar.
Ketika selesai kami bercinta, aku bertanya mengapa ia belum pernah tidur dengan kekasihnya sampai saat ini. Pertanyaan tolol yang keluar begitu saja. Ia terdiam sejenak mendengar pertanyaanku itu dan mulai menangis lagi tanpa suara. Aku mengambil selimut dilemarinya, menyelimuti hampir seluruh tubuhnya sementara ia masih meringkuk menangis. Aku menyalakan rokokku, duduk di samping Clara dan memandang hujan bulan Oktober.
Hujan berhenti ketika pagi datang. Clara tidur memunggungiku. Mungkin ia tidak tidur sama sekali, tubuhnya sekarang tampak kaku, seperti beku. Aku mencoba beberapa kali berbicara dengannya, tapi dia menjawab atau bergerak sedikit pun. Aku menatap lama bahunya, tapi pada akhirnya aku bosan dan sia-sia lalu aku memutuskan untuk bangun.
Lantai masih penuh dengan pakaian yang berserakan, gelas, kaleng-kaleng bir dan puntung rokok. Kue ulang tahun yang kubawa masih bersisa, namun tak lagi menarik untuk dimakan. Aku merapikan barang-barang yang tercecer sebisaku dan minum sambil lalu memerhatikan kamar Clara. Pada mejanya terdapat kamus dan panduan berbahasa Perancis. Di dinding atas meja itu tergantung kalender, tanpa ilustrasi atau foto apapun, hanya jumlah hari-hari bulan. Ada tumpukan kertas kosong di bawah meja. Aku melihat ada buku catatan disana namun tak berani untuk membacanya.
Aku mengambil pakaian dan segera berpakaian. Dada kemejaku masih lembab, sedikit basah oleh tangis Clara. Aku masih dapat mencium bau Clara. Di sampingnya aku mengambil secarik kertas dan menulis: "Aku ingin bicara panjang denganmu apabila kau sudah merasa tenang. Hubungi aku. Selamat Ulang Tahun". Aku melihat bahu Clara sepnta, melangkah ke luar dan diam-diam menutup pintu.



-       Diterjemahkan sesuka-suka hati disertai penyesuaian sana sini dari Novel Haruki Murakami, Norwegian Wood (English Version, translated from Japanese by Jay Rubin) halaman 45 sampai dengan 50.