Selasa, 07 April 2015

Bakwan dan Hal-Hal yang Tak Selesai



Di satu sore di kota Pontianak, hujan turun deras. Hujan kali ini terasa istimewa mengingat beberapa minggu kebelakang, panas menyengat kota yang dilalui garis imajiner khatulistiwa ini. Hujan kali ini selain istimewa juga membawa perasaan melankoli. Seandainya saya adalah Sapardi maka yang terpikirkan adalah untuk membuatkan sebuah puisi yang romantis. Namun saya bukan Sapardi, untungnya demikian, yang terpikirkan oleh saya adalah gorengan casu quo bakwan.

Bakwan -seringpula disebut dengan bala-bala-, sebagaimana nasib teman-teman sesama gorengan lainnya sering diabaikan dalam isu pangan nasional. Pengabaian ini juga berimbas tidak masuknya gorengan sebagai suatu objek yang menjadi perhatian pemerintah. Yang selalu menjadi perhatian oleh pemerintah melulu tentang kelangkaan daging sapi, impor bawang merah, harga cabai merah dan yang lagi hangat saat ini: soal beras. Gorengan tidak pernah diperhatikan bahkan namanya disebut dalam wacana berskala nasional pun tidak. Bahkan dalam satu kesempatan Bapak Menteri Pertanian mengatakan konsumsi beras turun dikarenakan masyarakat makan mie instan. Lha itu mie instan disebut-sebut, gorengan kok tidak, sungguh mengecewakan.

Acara televisi dengan tema masak-masak pun demikian, jarang atau bahkan tidak pernah sama sekali menampilkan cara memasak gorengan yang baik, membedah persoalan cita rasa dan bumbu untuk memasak gorengan yang pas. Sudah sangat jarang media cetak maupun elektronik yang menyinggungan gorengan. Padahal, meskipun belum pernah ditweet sama GNFI saya rasa gorengan itu asli Indonesia. Tidak ada juga penelitian yang pernah dipublikasikan -sepengetahuan saya- meneliti secara detil tentang gorengan, padahal masih banyak hal yang belum selesai tentang gorengan dimana hal tersebut menarik untuk dibahas. Plus permasalahan-permasalahan seputar gorengan yang belum selesai untuk terpecahkan. Untuk mempersempit konteks, gorengan yang saya bicarakan disini adalah bakwan, salah satu jenis gorengan termasyhur.

Ada adagium atau peribahasa yang mengatakan: Ada Udang Dibalik Bakwan, namun seberapa sering anda menemukan udang dibalik bakwan? Saya sendiri sebagai pencinta bakwan sudah tidak pernah menemukan udang dibalik, didalam, diluar bakwan. Hal ini menurut saya karena semakin rusaknya ekosistem udang. Semisal mangrove sebagai salah satu ekosistem udang, pemanfaatan sumber daya pesisir yang menyebabkan berkurangnya populasi mangrove juga berpengaruh pada rusaknya ekosistem udang. Imbasnya? Udang semakin sulit ditemukan di pasaran, apalagi dibalik bakwan. Bukankah ini adalah isu lingkungan hidup juga, namun permasalahan ini tidak pernah dibicarakan pun diselesaikan oleh pemerhati, peneliti, maupun aktivis lingkungan.

Selain permasalahan lingkungan, persoalan kelas pada bakwan pun jadi problematika yang belum terselesaikan. Bakwan bisa terbagi menjadi beberapa kelas dari kelas pedagang pinggir jalan hingga kelas restoran indonesia keminggris yang salah satu menunya adalah bakwan. Marx pernah berujar sejarah manusia adalah sejarah pertentangan kelas, begitu pun dengan sejarah bakwan. Ada pertentangan kelas bakwan restorang dan bakwan pinggir jalan, perlakuan atas bakwan dari kelas-kelas tersebut tidak adil. Bakwan kelas pinggir jalan dicap tidak lebih sehat dan bersih dibanding bakwan kelas restoran.

Pertentangan ini pun semakin terlihat nyata dari kesenjangan harga bakwan itu sendiri. Saya ragu harga bakwan di restoran tersebut dinilai dari biaya rata-rata tenaga kerja bahkan bukan tidak mungkin teori nilai lebih berlaku pula disini.

Permasalahan dan hal lain yang belum juga terselesaikan bagi saya adalah alasan logis mengapa perempuan dengan keringat bercucuran dan mulut yang berminyak sehabis makan bakwan dan sebiji cabe rawit, terlihat lebih cantik?

 

Pontianak, 25 Maret 2015