Jumat, 06 September 2013

Kalau Mati Jangan Disini


“Kalau mati jangan disini dong!”
Ibu mengeluhkan mayat yang telungkup kaku di bawah pohon mangga di halaman rumah kami. Mendadak suasana pagi hari yang biasanya tenang menjadi gaduh. Sedang ayah mencari-cari karung goni untuk membungkus mayat itu, Pak Ketua RT datang menyempil dari kerumunan warga yang mengelilingi rumah kami untuk melihat mayat tersebut. Bau busuk mulai menyeruak dan bergaya serupa, semua orang menutup hidungnya masing-masing. Aku tidak lagi selera makan pagi ini.
Barangkali mayat itu sudah ada dibawah pohon mangga halaman rumah kami sejak malam tadi, ketika kami semua sudah tidur pulas. Tubuhnya membengkak akibat kebanyakan menyerap air hujan yang turun semalaman dan juga tubuhnya sudah berubah warna jadi biru kehitaman. Yang membuatku heran, juga membuat semua orang heran pula, siapa gerangan mayat ini? siapa dia sewaktu hidupnya?
Wajahnya penuh bekas pukulan, namun senyum mengatup mulutnya. Dadanya tembus oleh peluru. Pada kedua Lengannya dipenuhi tato yang tersamar oleh biru kehitaman yang menjadi warna tubuhnya kini. Dugaan Pak Ketua RT, lelaki ini adalah seorang preman yang ditembak mati petrus tadi malam dan dibuang disini ketika semuanya sudah tidur. Okelah kalau begitu, sebagaimana hampir keseluruhan warga mengamini dugaan Pak Ketua RT termasuk bapak dan ibuku yang masih kerepotan mengurusi mayat ini. maka bolehlah kita sahkan mayat ini semasa hidupnya adalah seorang preman yang tadi malam dibunuh petrus sebagai bagian dari operasi clurit guna membasmi preman. Anak-anak yang jadi penonton berteriak: Hore! Ada preman mati satu lagi!
Pak Ketua RT bilang, bapak dan ibuku seharusnya bangga sudah kebagian andil dalam pembasmian preman dengan menyediakan halaman rumah sebagai tempat pembuangan mayat preman. Bapakku terlihat tersenyum bangga mendengar ucapan Pak Ketua RT. Ibu masih sibuk mengatur pemuda-pemuda kampung ini untuk membantu memasukkan mayat dalam karung goni. Dengan adanya operasi clurit ini, negara termasuk kampung ini akan menjadi lebih tenteram dengan ketiadaan preman yang berkeliaran lagi, lanjut Pak Ketua RT.
Entahlah benar atau tidak ucapan Pak Ketua RT tersebut, bagiku kehadiran mayat itu hanya mengacaukan dua hal pagi ini. pertama mengacaukan selera makan pagiku dan kedua mengacaukan pikiranku. Melihat mayat itu aku terbayang ada anak dan istri yang masih menunggu pulangnya lelaki ini. mungkin satu piring nasi putih mengepul masih tersisa untuk jatah lelaki ini kalau-kalau nanti pulang kelaparan.
...dor, dor, dor! Dengan hilangnya nyawa preman ini maka Pak Ketua RT serta warga kampung ini berharap lenyaplah keresahan masyarakat. Aku tak kenal wajah lelaki ini, setahuku yang meresahkan masyarakat kampung ini justru ketua RT itu sendiri dengan serangkaian proposal sumbangan yang disebar kerumah-rumah.
Dalam beberapa menit kemudian, mayat itu sudah masuk karung goni masih dalam keadaan tidak karuan. Karung itu diarak pemuda-pemuda dan diikuti seluruh warga. Anak-anak masih berlompat-lompat menggapai karung goni tersebut. Bapak-bapak kampung ini berteriak mengutuki mayat lelaki tersebut sedang bagian ibu-ibu yang menyumpahi mayat tersebut, mereka sebut lelaki itu tak akan masuk sorga. Sedang ibuku berteriak sendiri:
“Kalau mati jangan disini!”