Jumat, 14 November 2014

Tentang Menunggu

Apa yang salah dengan menunggu? Kalau melihat yang belakangan kejadian maka menunggu rasanya bukan perbuatan yang salah, tidak juga sia-sia. Tentu ada syarat mutlak untuk menunggu yang tidak sia-sia: jangan menunggu seperti Vladimir maupun Estragon. Mereka berdua terlalu bodoh untuk terus menunggu datangnya Godot, bahkan muka orang yang ditunggu saja mereka tidak tahu persis. Sudahlah, itu pelajaran penting soal menunggu yang bisa diambil dari Waiting for Godot, drama karya Samuel Beckett.
Bagi orang-orang yang sedang menunggu, termasuk saya di dalamnya, kejadian belakangan yang saya maksud sungguh menginspirasi. Kejadian tersebut bisa meneguhkan orang-orang untuk terus menunggu. Ada dua kejadian penting di minggu lalu.
Kejadian penting pertama adalah rilisnya mini-drama Ada Apa Dengan Cinta (AADC) setelah 12 tahun berselang. Sungguh pun siapa yang nyana ada lagi, kalau bisa disebut sequel, dari film legendaris itu. Sebelumnya memang ada versi sinetronnya, namun susah masuk hitungan bagi penggemar yang tergila-gila film tersebut. Bayangkan legendarisnya film tersebut bisa mengubah selera gadis-gadis SMA untuk tergila-gila pada lelaki yang misterius, sebelumnya pastilah yang bertubuh atletis atau bercita rasa musik tinggi. Atau membaca buku bagi seorang pria adalah kegiatan yang juga keren untuk dilakukan. Sayang sekali jaman cepat berlalu, ketika saya SMA sudah beda lagi seleranya.
Mini-drama tersebut membius orang-orang yang menjadi saksi mata hebohnya film tersebut. Tidak sedikit tentunya orang yang mendaulat film ini menjadi film Indonesia terbaik dan mendaulat serta Dian Sastro menjadi wanita tercantik di negara ini. Saya sendiri termasuk orang-orang tersebut, selama 12 tahun ini pun saya menonton film ini berulang-ulang, terutama 4 tahun belakangan ketika saya mendapat kopian filmnya. Tidak sadar saya menunggu rilisnya sequel ini, haru biru ketika menonton mini-drama tersebut. Namun tidak saya sendiri yang menunggu, Cinta pun ternyata menunggu Rangga pulang atau sekadar memberi kabar selama 12 tahun itu. Wow! Ini baru pelajaran berharga tentang menunggu. Ternyata bisa juga membuahkan hasil, sebagai bukti Rangga pulang ke Indonesia, memberi kabar pada Cinta dan mengajaknya untuk bertemu kembali meski cuma punya waktu 2 hari. (bangsat juga ini si Rangga)
Meskipun kisah Cinta yang menunggu Rangga pulang itu luar biyasa, kisah itu masih kalah banyak dengan kisah yang sesungguhnya terjadi minggu lalu. Kejadian kedua yang menjadi inspirasi adalah Persib yang menunggu 19 tahun lamanya untuk menjadi juara lagi. Persib selama 19 tahun ini bukan tim enteng, mereka selalu menjadi lawan berbahaya setiap musim setiap tahunnya. Secara finansial misalkan, disaat tim lain kembang kempis menghidupi diri, Persib masih bisa dibilang stabil. Jangan lupa bicara soal dukungan, bobotoh selalu loyal untuk mendukung mereka. Saya tahu rasanya Bandung yang senyap ketika Persib main, hampir semuanya menonton langsung maupun tidak langsung mereka berlaga, Namun apa daya, tidak pernah sekalipun mengecap gelar juara hingga hari jumat tanggal 7 November di stadion Jakabaring, mereka mampu membuktikan diri. Tidak sia-sia menunggu menjadi juara.
Tentang menunggu, jauh sebelum minggu lalu Florentino Ariza sudah membuktikannya dalam novel Gabriel Garcia Marquez, Love in the time of Cholera. Sama seperti AADC sebenarnya, memang cuma fiksi namun dapat menjadi inspirasi juga dalam soal tunggu-menunggu. Dalam kisahnya diceritakan Florentino menunggu 51 tahun 9 bulan dan 4 hari lamanya untuk mendapatkan kembali cinta Fermina. Meskipun ada 622 perempuan yang pernah singgah dalam hidup Florentino, cinta Fermina lah yang selalu ia tunggu. Menunggu memang butuh pengorbanan, waktu yang terutama, tapi pertanyaannya adalah apakah pantas atau tidak untuk menunggu. Cinta, Persib maupun Florentio yakin, menunggu adalah suatu pekerjaan pantas untuk dilakukan. Persib tidak akan pernah tahu sebelumnya bahwa mereka akan juara setelah 19 tahun atau Cinta yang menunggu 12 tahun  atau Florentino tidak akan pernah tahu kalau Fermina akhirnya bisa luluh hatinya setelah 51 tahun. Mereka semua tahu jawaban yang mereka tungu karena memang mereka menunggu itu.
Sekarang giliran saya sendiri, setelah mendapat pelajaran-pelajaran demikian untuk melanjutkan menunggu. Apakah saya akan punya pacar setelah 23 tahun?


Pontianak, November 2014