Minggu, 25 Mei 2014

Akhirnya Masuk (Kardus) Televisi


Sabtu, 15 Oktober 2011 pukul 23.41. Sudah terlalu malam bagi seorang wanita untuk berjalan sendirian. Tak ada yang benar-benar aman di kota ini, setiap sudutnya menyimpan bahaya yang siap meledak kapan saja dan untuk siapa saja, terlebih lagi untuk seorang wanita yang selalu menjadi sasaran empuk tindakan kriminal. Terlalu riskan membiarkan wanita berjalan sendirian di kota yang penuh bahaya pada waktu menjelang tengah malam, di Jakarta.
***
Sedari duduk di bangku sekolah dasar hingga saat ini, Kanya, gadis 21 tahun lulusan SMA ini tak pernah membuang mimpinya menjadi artis, selebriti yang selalu tampil dengan pesona keanggunan dan hari-harinya diikuti oleh sorotan kamera televisi, ya Kanya selalu ingin masuk televisi. Hingga pada akhirnya 3 tahun yang lalu Kanya datang ke Jakarta untuk menggapai mimpinya. Semua tahu, Jakarta tak pernah berhenti menawarkan mimpi, Jakarta tak pernah mau berhenti membuai orang-orang dengan segala fantasi, termasuk Kanya. Fantasi yang disuguhkan lewat televisi.
Hidup tak selamanya semudah yang diharapkan, terkadang atau bahkan seringkali justru apa yang kita coba untuk hindarilah yang menjadi kenyataan atau apa yang selalu kita inginkan malah tidak menjadi kenyataan. Segala mimpi dan fantasi yang menyesakkan dada Kanya membuatnya tak kuasa melihat kenyataan yang harus ia hadapi. Tak semudah itu menjadi artis, ia selalu gagal dalam beberapa audisi pemain sinetron yang dicobanya. Bukannya Kanya tak menarik fisiknya, tapi masih banyak wanita yang lebih menarik di kota berpenduduk lebih dari 9 juta jiwa ini.
Kanya tak sendirian, banyak juga yang menjalani hidup sepertinya, mencoba mengadu peruntungan di Jakarta namun tak kesampaian hingga akhirnya hidup dalam jepitan kemiskinan. Kanya hidup dalam jepitan itu. Ia tinggal di kamar kost yang ukurannya nyaris seperti sempitnya kuburan, hidupnya kini bergantung sepenuhnya dari penghasilannya sebagai buruh di pabrik tekstil di utara Jakarta, orang tuanya tak sanggup lagi membiayai uang bulanannya. Namun ada yang selalu dipegang teguh oleh Kanya, ia bukan wanita murahan, Kanya takkan menjual tubuhnya untuk mendapatkan uang yang jauh lebih banyak dari pendapatannya sekarang, 35 ribu rupiah dalam sehari. Uang yang cukup membuatnya makan sehari dan menyisakan ongkos berangkat audisi. Ah Kanya juga tak pernah lupa akan mimpinya menjadi selebriti.
Setiap sabtu atau terkadang pula hari minggu, Kanya tetap mencoba terus peruntungannya dalam audisi pemain sinteron kelas teri. Bermodal pakaian terbaiknya dan diantar oleh tukang ojek langganannya, si Udin. Si Udin, nama aslinya Fakhrudin, selalu menyediakan waktunya di sabtu siang untuk menunggu, menjemput, lalu mengantar Kanya hingga ke tempat audisinya, tentu mengantar kembali Kanya pulang ke kost-kostannya. Udin selalu tahu, Kanya takkan lolos dalam audisi tersebut, ia dengan senantiasa menunggu Kanya selesai audisi sambil menonton televisi di warung kopi terdekat dan membayangkan Kanya beneran masuk televisi nantinya sebagai selebriti. Udin setia menunggu Kanya bahkan hingga hari telah larut. Barangkali Udin memendam cinta pada Kanya.
Udin tak sendiri mencintai Kanya, tentu banyak pemuda-pemuda tanggung seperti Udin atau bahkan lelaki-leaki genit yang juga jatuh hatinya pada Kanya, namun apa daya cinta tak lekas bersambut. Kanya itu cantik dan menarik, sopan pula tingkah lakunya. Sedangkan Udin, wajahnya jauh dari rupawan, kelakuannya pun tak pula bisa dikatakan baik. Udin hanya bermodal cinta dan nekat untuk mendekati Kanya. Setidaknya Udin siap mempertaruhkan segalanya demi Kanya.
“Lu gagal lagi ya?” Tanya Udin pada Kanya yang menghampirinya dari tempat audisi dengan muka murung. Sudah beribu kali Udin menanyakan hal yang sama dan jawabannya pun selalu sama. Udin sudah memahami itu.
“Iya bang, yang audisi itu gak becus, gak professional!”
“Sabar neng, kali aja sekarang bukan waktunya, kalau emang rejeki gak bakal kemanalah” ujar Udin yang mencoba menenangkan hati Kanya sembari bersiap mengantarkan Kanya pulang.
“Eh en-nneng, udah makan belum? Mampir bentar makan yah, abang yang traktir” celetuk Udin dengan gugup.
“Aduh, dalam rangka apa nih bang? Boleh deh bang, Kanya juga laper hehehe”
“Ah dalam rangka menghibur hati Kanya aja” Udin lalu mencari tempat makan yang tepat untuk mereka berdua, ini momen yang jarang-jarang didapatkan Udin, hatinya berbunga-bunga.
Pilihan Udin jatuh pada rumah makan padang Takana Juo yang tak begitu jauh dari lokasi audisi Kanya. Mereka berdua makan dengan lahapnya hingga keadaan berubah tak menyenangkan ketika Udin menyatakan cintanya secara mendadak kepada Kanya yang seketika itu pula Kanya menolak cinta Udin dengan halus. Baik Kanya maupun Udin merasa canggung. Hingga pukul 21.30, mereka pulang dari rumah makan tersebut dengan Udin yang jalan tertunduk kecewa. Mereka pulang, Kanya harus pulang.
****
Minggu pagi 16 Oktober 2011, warga Koja, Jakarta utara dikagetkan dengan penemuan mayat seorang wanita setengah telanjang dalam sebuah kardus televisi. Wanita itu meninggal dengan keadaan menggenaskan dimana tubuhnya penuh luka tusuk di punggung, di perut dan di iga wanita tersebut. Bagian kelamin wanita tersebut terdapat cairan mani sehingga polisi yang memeriksa keadaan menyimpulkan bahwa wanita tersebut diperkosa terlebih dahulu hingga akhirnya dibunuh. Polisi masih terus menyelidiki pelaku pembunuhan. Dari dompet korban ditemukan identitas korban yang menerangkan nama wanita tersebut Kanya. Warga sekitar sendiri tidak mengenal korban yang ketika ditemukan telah meringkuk kaku dalam kardus televisi 29 inch.
Wanita itu adalah Kanya, Kanya cantik yang bercita-cita masuk televisi dengan status selebriti namun malang impiannya tak pernah terwujud, ia hanya mampu masuk kardus televisi dengan status mati tragis.
Jakarta, 25 Oktober 2011