Jumat, 11 Juli 2014

Tentang Setelah Pemilihan Presiden 9 Juli 2014


Entah bagaimana nasib tim Brazil kedepannya, setelah dipermalukan Jerman 7-1 di Estadio Mineiras. Kekalahan tersebut tidak saja menyakitkan dari segi jumlah, tetapi juga mengingat piala dunia tahun ini pun digelar di Brazil, di rumah sendiri. Mengutip kata David Luiz setelah kekalahan di semi final tersebut, Brazil telah menderita banyak, ya banyak, piala dunia yang digelar di Brazil bukan tanpa kontroversi karena hingga menjelang  turnamen digelar aksi protes masih terjadi di Brazil dengan alasan pemborosan sementara banyak rakyat Brazil masih berkutat dalam kemiskinan. Seharusnya apabila menang, terlebih lagi juara, itu akan menjadi penyembuhan dari penderitaan rakyat Brazil.
Saya mempertanyakan bagaimana nasib tim Brazil kedepannya. Sejarah mengatakan,masyarakat Brazil terutama penggemar sepakbolanya, tidak serta merta bisa menerima kekalahan. Pada perhelatan Piala Dunia 1950, Brazil juga menjadi tuan rumah piala dunia. Partai akhir yang menentukan Brazil harus kalah dari Uruguay dengan skor 2-1 yang mana juga berarti menyerahkan gelar juara ke Uruguay yang sebenarnya sudah hampir digenggam Brazil. Peristiwa yang dikenal juga dengan istilah Maracanazo berbuntut panjang, pemberian gelar juara Uruguay dilakukan tanpa adanya perayaan. Tim yang memperkuat Brazil saat itu tidak bermain untuk Brazil selama 2 tahun dan tidak bermain di Maracana 4 tahun. Seragam kesebelasan Brazil pun diganti menjadi seperti yang kita kenal sekarang, kuning-hijau. Kabarnya pun ada yang bunuh diri akibat kekalahan tersebut.
Kembali ke Indonesia, perhelatan yang juga tidak kalah seru dari piala dunia adalah pemilihan presiden 2014 yang baru saja dilakukan 9 Juli kemarin. Hasil resmi pemenang pemilihan presiden belum dirilis oleh KPU, namun quick count yang dilakukan sudah beberapa lembaga riset sudah merilis hasilnya. Hasil ini berbuntut juga, masing-masing kubu saling klaim kemenangan dengan dasar quick count versi masing-masing yang kebetulan hasilnya menguntungkan bagi masing-masing kubu. Dari kubu nomor 1, Prabowo-Hatta mendasarkan hasil quick count dari 4 lembaga riset sedangkan dari kubu nomor 2 mendasarkan hasil  quick count dari 7 lembaga. Sesungguhnya tidak ada yang pasti tetapi quick count selama ini selalu mendekati yang pasti tersebut, seandainya selisih pun sebutlah itu margin error karena namanya juga hitung cepat yang metodanya hanya mengambil sample dari beberapa tempat. Anehnya, hasil quick count yang menjadi dasar masing-masing kubu bisa berbeda, tidak hanya soal angka tetapi juga hasilnya yang menentukan siapa pemenang pemilihan presiden kali ini.
Sementara salah satu kubu capres-cawapres sudah sujud syukur atas kemenangannya menurut quick count, di kubu yang lainnya suda rame-rame kumpul dan ada juga yang konvoi merayakan kemenangan juga. Sekali lagi, kedua kubu masih mendasarkan pada hasil quick count, yang bikin mengidik adalah apabila ahasil real count versi KPU yang mana hasil resmi pemenang pemilu tidak sesuai dengan ekspektasi dan hasil quick count versinya, akan bagaimana nantinya. Melihat aksi saling klaim ini, ngeri juga rasanya karena bisa dilihat ada potensi tidak siap untuk menerima kekalahan.
Masing-masing Capres-cawapres adalah negarawan, sikap negarawan tersebut yang sangat penting ditunjukkan pada saat-saat seperti ini, termasuk untuk legowo. Jangan sampai salah satu kubu menjadi seperti masyarakat Brazil menyikapi Maracanazo, tidak siap dan tidak mau mengakui kekalahan. Apabila terjadi demikian, akan banyak hal yang harus dikorbankan; untuk hal ini stabilitas keamanan misalkan. Sedangkan untuk yang menang, harus ingat falsafah yang pernah dilontarkan R.M Pandji Sosrokartono; Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake atau menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan. Bagaimanapun pemenang pemilihan presiden, sebagaimana sesuai konstitusi, baru diketahui setelah adanya versi resmi dari KPU. Menunggu pengumuman resmi pemenang pemilihan presiden oleh KPU tanggal 22 Juli nantinya tersebut, mungkin masing-masing capres-cawapres bisa membahas siapa yang menang, Jerman atau Argentina di final piala dunia 2014.

Padalarang, 11 Juli 2014

Minggu, 06 Juli 2014

Tentang Pemilihan Presiden 9 Juli 2014


Akhirnya selesai sudah masa kampanye calon presiden, yang menurut saya begitu menjemukan. Bagi tim sukses, juru kampanye, simpatisan bahkan calon presidennya sendiri masa-masa kampanye ini mungkin melelahkan. Saling lempar tuduhan, fitnah satu sama lain atau istilah bekennya black campaign harusnya menguras banyak emosi dan tenaga mereka. Tetapi itu sudah berlalu, sekarang saatnya menyambut 9 Juli 2014, rangkaian pesta demokrasi di Indonesia, pemilihan presiden.
Bagi saya pribadi, siapapun presiden yang terpilih kelak bukan persoalan. Sebagai abdi negara -walau statusnya sekarang masih calon- siapapun presidennya merupakan atasan tidak langsung saya dan bagaimanapun kebijakan presiden baru kelak selaku pemimpin pemerintahan, saya harus manut, karena saya dihidupi oleh negara. Boleh jadi karenanya saya dan rekan-rekan seprofesi tidak punya porsi banyak hak untuk protes atas kebijakan-kebijakan pemerintah nantinya tapi setidaknya masih punya hak untuk berharap. Hak untuk berharap agar kebijakan yang nantinya diambil berpihak pada yang baik-baik.
Tentu kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dalam 5 tahun kedepan, bahkan untuk harapan dalam 5 tahun nanti saja belum tentu kita sudah menyusunnya. Untuk harapan-harapan yang nantinya kita taruh ke pemerintah yang baru dan tentu untuk hal-hal yang berhubungan dengan urusan pemerintah, kita berharap campur tangan pemerintah untuk memastikan semuanya sesuai dengan harapan itu sendiri. Semisal saya dalam 5 tahun ini berencana menikah, tentu saya berharap dalam 5 tahun ini stabilitas ekonomi memungkinkan bagi saya membentuk sebuah keluarga, atau jaminan kesehatan yang memadai semisal dalam 5 tahun ini saya sangat membutuhkannya. Bagi orang tua yang memiliki anak di usia sekolah akan berharap kebijakan pemerintah baru yang akan memungkinkan anak-anak mereka mendapat biaya pendidikan terjangkau. Begitupun saudara-saudara di Papua, kebijakan pemerintah baru diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan mereka, ekonomi hingga stabilitas keamanan disana.
Untuk waktu dekat ini, saya berharap presiden yang terpilih nantinya adalah presiden yang tegas bukan yang tega, presiden yang sederhana bukan yang lemah, presiden yang mampu mewujudkan harapan yang dijanji-janjikan semasa kampanye.
Lagian berharap itu perlu juga, dan berharap merupakan suatu hal yang baik, seperti yang dikatakan dalam film Shawsank Redemption; hope is a good thing, maybe the best of good things. And no good thing ever dies. Untuk saya pribadi dengan berharap juga, saya masih mampu memelihara akal sehat untuk tetap hidup.

Kostan Baru, Kramat Sentiong, 06 Juli 2014