Rabu, 04 Desember 2013

Tentang Keberpihakan Media


Rasanya kurang dalam seminggu di sosial media atau biasa disebut sosmed, terutama twitter, ramai kicauan pandangan atau pendapat terhadap dua isu yang lagi hangat. Pertama mengenai mogok dokter atas nama solidaritas profesi terhadap “kriminalisasi” tiga dokter yang divonis bersalah oleh putusan kasasi MA dan yang kedua mengenai kasus pelecehan seksual atau lebih tegasnya pemerkosaan oleh seorang penyair terkenal kepada seorang mahasiswi. Ramai karena kedua isu ini masing-masing membelah opini pengguna sosmed menjadi pro maupun kontra. Kemudian bagaimana dengan pemberitaan media massa, apakah perlu berpihak juga dalam pembahasan isu?
Ihwal pro-kontra yang ramai di sosmed tentunya berawal dari pemberitaan media massa. Seperti halnya obrolan di warung kopi, kicauan-kicauan di twitter pun sama, bedanya hanya pada penggunaan perangkat elektronik dan keduanya sama-sama membicarakan pemberitaan yang diangkat media massa tersebut. Peran media massa dari masa ke masa selalu pada posisi vital penggiringan opini publik dan seiring itu juga selalu timbul pertanyaan mengenai netralitas pemberitaan. Pada isu pertama, mengenai mogok dokter, banyak dokter-dokter atau pihak yang pro pada aksi mogok atau pihak yang menolak vonis bersalah dokter banyak yang mempertanyakan atau bahkan menyalahkan posisi media massa dalam pemberitaan isu. Mereka menganggap adanya provokasi yang berujung pencitraan buruk pada profesi dokter. Pada isu yang kedua, mengenai kasus pelecehan seksual si penyair terkenal lebih menarik karena yang bersangkutan tergabung pada komunitas yang boleh dibilang sangat dekat ke salah satu media massa unggulan di negeri ini yang kemudian mengasilkan sentimen publik yang menganggap bahwa media massa tersebut cenderung bela sejawat dan coba mengalihkan isu pelecehan seksual menjadi drama keluarga.
Tidak ada yang salah apabila media massa berpihak, tetapi dengan beberapa catatan. Keberpihakan media menurut saya salah satu bagian dari kemerdekaan pers dalam hal menyampaikan informasi yang dilindungi undang-undang, selain itu keberpihakan timbul karena sifat pemberitaan sendiri merupakan gagasan si pewarta yang tidak lepas dari pandangan si pewarta yang sifatnya subyektif. Dari gagasan tersebutlah publik dapat melihat integritas pewarta. Baik dan buruk keberpihakan tentu relatif, tergantung pada subyek penerima berita sehingga istilah netralitas menurut saya tidak tepat untuk menilai suatu pemberitaan. Netralitas adalah posisi tengah dan tidak adanya kecenderungan berpihak pada satu hal, sedangkan pemberitaan merupakan kontruksi realitas yang diikuti penafsiran maka netralitas menjadi soal yang relatif untuk menilai pemberitaan. Menurut saya, apabila media massa menarik diri dari keberpihakan justru akan membiarkan realitas tanpa adanya rekontruksi tersebut. Sayang sekali apabila fakta justru dibiarkan bergulir tanpa adanya penafsiran. Maka disini media massa perlu berpihak pada apa yang mereka anggap sebuah kebenaran.
Bagaimanapun tetap ada catatan yang harus diperhatikan dalam pemberitaan. Tentunya prinsip cover both sides tidak boleh lepas dalam pemberitaan yaitu menampilkan dua sisi pemberitaan. Untuk hal ini pemberitaan yang mengangkat realitas yang terjadi harus tetap mengangkat informasi dari dua sisi yang berbenturan dalam pemberitaannya. Informasi dua sisi yang berbenturan haruslah pula seimbang dalam isi pemberitaannya sedangkan penafsiran informasi tersebut terserah si pewarta. Menurut saya, media massa saat ini telah menjunjung etik tersebut dan sekali lagi soal penafsiran terlalu relatif sehingga keberpihakan merupakan hal sangat mungkin terjadi. Apabila menyimpang, subyek pemberitaan tentu memiliki hak jawab yang juga dilindungi dalam UU Pers No. 40 th 1999.
Catatan lain saya mengutip The Elements of Journalism karya Bill Kovach mengenai prinsip aktivitas jurnalisme antara lain; (1) kewajiban pencari kebenaran (2) loyalitas kepada masyarakat (3) disiplin verifikasi (4) independensi dari objek sumber (5) pemantau kekuasaan (6) akomodatif untuk kritik publik (7) menarik dan relevan (8) proporsional dan komprehensif dan (9) tanggung jawab moral. Media massa dituntut demikian dalam pemberitaan. Begitupun pada kode etik profesi pewarta yang kurang lebih juga menyangkut prinsip-prinsip yang dikemukakan sebelumnya. Saya kembali lagi ke penyataan awal saya, media massa tidak dapat dilihat pada posisi netral tetapi dinilai bagaimana sebuah pemberitaan menjunjung kode etik profesi pewartanya. Kemudian bagaimana apabila akibat keberpihakan media massa tersebut tidak dapat memuaskan kebutuhan informasi publik?
Kita mengenal istilah citizen journalism atau jurnalisme warga. Disinilah publik yang tidak berprofesi resmi sebagai pewarta untuk dapat menafsirkan kembali pemberitaan sebagai alat bantu pemuas kebutuhan informasi yang tidak disampaikan atau salah tafsir oleh pemberitaan media massa. Pada perkembangannya citizen journalism justru dapat dijadikan ajang perlawanan terhadap pemberitaan media massa. Pada jurnalisme warga, publik dapat melawan keberpihakan pemberitaan media massa atau bahkan mengamini pemberitaan tersebut. Jurnalisme warga dapat lebih banal dalam hal pemberitaan dibandingkan media massa karena faktor jumlah. Banyak media yang dapat digunakan untuk jurnalisme warga; blog atau sosmed pun dapat dijadikan jurnalisme warga sebagai medianya. Netralitas juga sama tidak dapat dijadikan nilai dalam jurnalisme warga tersebut, bahkan tidak mungkin karena kecenderungannya jurnalisme warga justru berangkat dari opini baik melawan atau mengamini pemberitaan media massa. Peran jurnalisme warga inilah yang kita tunggu untuk melawan salah tafsir media massa.
Kesimpulan saya, dalam hal menyikapi pemberitaan media massa peran publik yang harus didorong, salah satunya menggunakan jurnalisme warga. Publik yang harus memainkan kontrol sosialnya bukan media massa.. Sadar atau tidak media massa juga berperan sebagai kontrol sosial dengan penggiringan opini melalui pemberitaannya. Maka apabila kontrol yang dijalankan media massa tersebut justru menjerumuskan publik pada hal buruk atau bahkan menyetir mengurangi rasa keadilan publik, maka mengutip sajak Wiji Thukul; hanya ada satu kata: Lawan! – dengan jurnalisme warga!