Jumat, 14 November 2014

Tentang Menunggu

Apa yang salah dengan menunggu? Kalau melihat yang belakangan kejadian maka menunggu rasanya bukan perbuatan yang salah, tidak juga sia-sia. Tentu ada syarat mutlak untuk menunggu yang tidak sia-sia: jangan menunggu seperti Vladimir maupun Estragon. Mereka berdua terlalu bodoh untuk terus menunggu datangnya Godot, bahkan muka orang yang ditunggu saja mereka tidak tahu persis. Sudahlah, itu pelajaran penting soal menunggu yang bisa diambil dari Waiting for Godot, drama karya Samuel Beckett.
Bagi orang-orang yang sedang menunggu, termasuk saya di dalamnya, kejadian belakangan yang saya maksud sungguh menginspirasi. Kejadian tersebut bisa meneguhkan orang-orang untuk terus menunggu. Ada dua kejadian penting di minggu lalu.
Kejadian penting pertama adalah rilisnya mini-drama Ada Apa Dengan Cinta (AADC) setelah 12 tahun berselang. Sungguh pun siapa yang nyana ada lagi, kalau bisa disebut sequel, dari film legendaris itu. Sebelumnya memang ada versi sinetronnya, namun susah masuk hitungan bagi penggemar yang tergila-gila film tersebut. Bayangkan legendarisnya film tersebut bisa mengubah selera gadis-gadis SMA untuk tergila-gila pada lelaki yang misterius, sebelumnya pastilah yang bertubuh atletis atau bercita rasa musik tinggi. Atau membaca buku bagi seorang pria adalah kegiatan yang juga keren untuk dilakukan. Sayang sekali jaman cepat berlalu, ketika saya SMA sudah beda lagi seleranya.
Mini-drama tersebut membius orang-orang yang menjadi saksi mata hebohnya film tersebut. Tidak sedikit tentunya orang yang mendaulat film ini menjadi film Indonesia terbaik dan mendaulat serta Dian Sastro menjadi wanita tercantik di negara ini. Saya sendiri termasuk orang-orang tersebut, selama 12 tahun ini pun saya menonton film ini berulang-ulang, terutama 4 tahun belakangan ketika saya mendapat kopian filmnya. Tidak sadar saya menunggu rilisnya sequel ini, haru biru ketika menonton mini-drama tersebut. Namun tidak saya sendiri yang menunggu, Cinta pun ternyata menunggu Rangga pulang atau sekadar memberi kabar selama 12 tahun itu. Wow! Ini baru pelajaran berharga tentang menunggu. Ternyata bisa juga membuahkan hasil, sebagai bukti Rangga pulang ke Indonesia, memberi kabar pada Cinta dan mengajaknya untuk bertemu kembali meski cuma punya waktu 2 hari. (bangsat juga ini si Rangga)
Meskipun kisah Cinta yang menunggu Rangga pulang itu luar biyasa, kisah itu masih kalah banyak dengan kisah yang sesungguhnya terjadi minggu lalu. Kejadian kedua yang menjadi inspirasi adalah Persib yang menunggu 19 tahun lamanya untuk menjadi juara lagi. Persib selama 19 tahun ini bukan tim enteng, mereka selalu menjadi lawan berbahaya setiap musim setiap tahunnya. Secara finansial misalkan, disaat tim lain kembang kempis menghidupi diri, Persib masih bisa dibilang stabil. Jangan lupa bicara soal dukungan, bobotoh selalu loyal untuk mendukung mereka. Saya tahu rasanya Bandung yang senyap ketika Persib main, hampir semuanya menonton langsung maupun tidak langsung mereka berlaga, Namun apa daya, tidak pernah sekalipun mengecap gelar juara hingga hari jumat tanggal 7 November di stadion Jakabaring, mereka mampu membuktikan diri. Tidak sia-sia menunggu menjadi juara.
Tentang menunggu, jauh sebelum minggu lalu Florentino Ariza sudah membuktikannya dalam novel Gabriel Garcia Marquez, Love in the time of Cholera. Sama seperti AADC sebenarnya, memang cuma fiksi namun dapat menjadi inspirasi juga dalam soal tunggu-menunggu. Dalam kisahnya diceritakan Florentino menunggu 51 tahun 9 bulan dan 4 hari lamanya untuk mendapatkan kembali cinta Fermina. Meskipun ada 622 perempuan yang pernah singgah dalam hidup Florentino, cinta Fermina lah yang selalu ia tunggu. Menunggu memang butuh pengorbanan, waktu yang terutama, tapi pertanyaannya adalah apakah pantas atau tidak untuk menunggu. Cinta, Persib maupun Florentio yakin, menunggu adalah suatu pekerjaan pantas untuk dilakukan. Persib tidak akan pernah tahu sebelumnya bahwa mereka akan juara setelah 19 tahun atau Cinta yang menunggu 12 tahun  atau Florentino tidak akan pernah tahu kalau Fermina akhirnya bisa luluh hatinya setelah 51 tahun. Mereka semua tahu jawaban yang mereka tungu karena memang mereka menunggu itu.
Sekarang giliran saya sendiri, setelah mendapat pelajaran-pelajaran demikian untuk melanjutkan menunggu. Apakah saya akan punya pacar setelah 23 tahun?


Pontianak, November 2014

Rabu, 29 Oktober 2014

Tentang Melihat Jokowi

Ada yang menarik dari cerita kedatangan Jokowi ke Kabanjanhe yang datang untuk mengunjungi pengungsi Sinabung. Dalam berita yang dimuat oleh Kompas.com menyebutkan seorang pria sampai harus memanjat pohon di lokasi pengungsian Universitas Karo, Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara untuk bisa melihat secara leluasa melihat Presiden Joko Widodo*. Kisah ini mirip rasanya dengan kisah Zakeus dalam injil.
Tentu saya bisa dianggap melakukan penistaan agama apabila menyamakan figur Yesus dengan Jokowi. Selain sosok Yesus yang dianggap suci bagi banyak orang, Jokowi sepanjang yang saya tahu pun tak penah melakukan mukjizat, ia tidak bisa mengubah air menjadi anggur atau menghidupkan orang yang mati menjadi hidup kembali. Jadi mari sekadar menyamakan kisahnya saja.
Dari yang dikisahkan pada Lukas 19:1-10 disebukan, Zakheus seorang kepala pemungut cukai berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu, tetapi ia tidak berhasil karena orang banyak, sebab badannya pendek.Maka berlarilah ia mendahului orang banyak, lalu memanjat pohon ara untuk melihat Yesus, yang akan lewat di situ. Rasa penasaran Zakeus didorong oleh keinginan untuk memastikan apakah Yesus yang didengarnya telah melakukan mukjizat itu benar-benar dapat berbuat demikian. Mungkin pria itu pun demikian, ia ingin melihat Jokowi langsung dan memastikan Jokowi benar seperti yang diceritakan oleh koran-koran yang dibacanya atau diberitakan oleh televisi yang ditonton olehnya. Saya tidak tahu pasti, saya tidak kenal pria yang memanjat pohon itu, Jokowi maupun Zakeus secara personal, tapi mungkin seperti itulah kira-kira.
Ketika Morrissey datang ke Indonesia 2 tahun yang lalu, saya juga berdesakan dengan banyak orang untuk sampai ke ujung depan panggung. Saya ingin melihatnya secara jelas dan memastikan beberapa hal: (1) Morrissey yang datang adalah orang yang sama dengan gambar yang terpampang di album-albumnya, (2) aksi panggungnya sedahsyat liputan konser-konsernya sebelum ini dan (3) ia benar-benar dapat bernyanyi lagu-lagu kesukaan saya. Ya saya, pria di Kabanjahe tersebut maupun Zakeus ingin memastikan dengan melihat sosok dari yang selama ini hanya kami dengar atau bayangkan. Banyak harapan yang terkandung dari rasa penasaran itu, hasilnya? Belum tentu sama, bisa jadi banyak mengecawakan. Morrissey misalkan, terlalu gendut dan terlihat tua dibandingkan dengan yang saya bayangkan.
Jokowi bisa dibilang fenomenal, dalam waktu yang bisa dibilang singkat, ia dapat tampil menjadi figur yang dikagumi banyak orang. Boleh jadi ia sosok yang disebut from zero to hero. Kita tidak mengenal Jokowi sebelum ia menjabat walikota Solo, menjadi Gubernur Jakarta hingga secara dramatis terpilih menjadi presiden Indonesia ke-7. Dari pemberitaan media kita mengetahui bahwa ia dapat membuat perubahan bagi negara ini. harapan begitu besar digantungkan padanya. Bahkan ada yang menganggapnya Satrio Piningit, okelah itu terlalu mengkultuskannya, intinya kehadirannya sebagai presiden baru bisa membawa perubahan negara ini menuju lebih baik.
Tentu, Jokowi bukanlah Yesus, Satrio Piningit ataupun semacamnya. Ia manusia biasa seperti kita. Pada pidato kepresidenan pertamanya ketika dilantik, ia menekankan semangat untuk bekerja. Katanya pada saat itu: Kerja, kerja, kerja! Bekerja sebagai pembuktian dari janji-janjinya dan bekerja untuk mewujudkan visi dan misi yang dibawanya. Ia mengajak untuk sama-sama bekerja, namun sebagai tentu kita juga berharap pekerjaan kita tidak sia-sia. Pada posisinya sebagai presiden, kita berharap ia melakukan hal-hal nyata. Bagi para pengungsi Sinabung salah satunya.
Pria yang memanjat pohon itu adalah salah seorang pengungsi Sinabung. Mungkin sama dengan pengungsi lainnya, mereka berharap ada perhatian dan tindakan untuk menyelamatkan mereka dari penderitaannya. Mereka mungkin berharap dapat direlokasi dan diberikan pekerjaan untuk tetap dapat hidup. Mereka membutuhkan rumah tinggal dan ladang untuk bercocok tanam. Yang paling memungkinkan, mereka berharap tidak kecewa dengan presiden baru ini, tidak kecewa dengan kenyataan misalkan nanti Jokowi tidak sama dengan yang mereka dengar dan lihat di media massa, tidak sama dengan janji-janjinya ketka kampanye lalu. Mereka mungkin berhapa bapak presiden mau mengajak pria itu turun dari pohon -tidak perlu sampai menginap dirumahnya juga- dan memberikan kepastian untuk dapat mewujudkan harapan-harapannya.


* berita tersebut dapat diakses disini

Rabu, 22 Oktober 2014

Always be drunk.
That's it!
The great imperative!
In order not to feel time's horrid fardel

bruise your shoulders,
grinding you into the earth,
Get drunk and stay that way.
On what?
On wine, poetry, virtue, whatever.
But get drunk.
And if you sometimes happen to wake up
on the porches of a palace,
in the green grass of a ditch,
in the dismal loneliness of your own room,
your drunkenness gone or disappearing,
ask the wind,
the wave, the star, the bird, the clock,
ask everything that flees,
everything that groans
or rolls or sings,
everything that speaks,
ask what time it is;
and the wind,
the wave, the star, the bird, the clock
will answer you:
"Time to get drunk!
Don't be martyred slaves of Time,
Get drunk!
Stay drunk!
On wine, virtue, poetry, whatever!" 
(Charles Baudelaire-Get Drunk)

Salah satu hal yang bisa disyukuri mendapat penempatan jauh dari Jakarta adalah memiliki banyak waktu luang. Setidaknya begitu pendapat saya pada awalnya. Tidak tinggal menetap dan bekerja di Jakarta sekitarnya maka saya akan memiliki tambahan waktu kurang lebih 2 jam dari selisih terjebak macet ketika berangkat dan pulang bekerja. Saya juga akan memiliki tambahan waktu 5 jam dari selisih tidak keluyuran selepas pulang bekerja dan mendapat tambahan 38 jam di akhir pekan yang sibuk di Ibukota. Sepertinya salah. Ternyata waktu disini bisa berjalan dengan cepat juga, hanya terkadang saya sadar kalau dilewati begitu saja. 

Kamis, 09 Oktober 2014

Tentang Ulang Tahun

Pertengahan bulan Oktober, Clara berusia tepat 23 tahun, lebih tua 2 bulan dariku. Suatu hal yang aneh rasanya menyadari Clara yang akan berusia 23 tahun ini. Aku hanya merasa satu-satunya hal yang masuk akal, baginya atau bagiku, adalah berusia diantara 21 dan 22. Seandainya dapat begini; ketika berusia 21 lalu kemudian berulang tahun untuk usia ke 22, setelah 22 kembali ke usia 21. Namun kali ini ia akan berusia 23 dan nanti di bulan Desember, aku juga sama. Ya, memang hanya orang mati tetap di usia 20 selamanya.
Hujan turun menyambut hari ulang tahun Clara, namun bagaimanapun aku sudah berjanji untuk datang ke rumahnya. Sepulang kerja aku menyempatkan diri untuk mampir membeli kue ulang tahun untuknya di toko roti yang tidak jauh dari kantorku. "Kita harus membuat perayaan!" kataku. Aku juga akan menginginkan hal yang sama jika aku berada diposisinya saat ini. Pasti sebuah hal yang sulit untuk berulang tahun sendirian. Pukul dua belas kurang, aku sudah memasang lilin diatas kue ulang tahunnya, menyalakannya, lalu mematikan lampu, aku memang memiliki bakat untuk merayakan ulang tahun. Clara sudah menyiapkan empat kaleng bir. Kami minum, makan kue ulang tahun tersebut, dan menikmati perayaan ulang tahun yang sederhana.
"Entahlah, aku hanya merasa tolol berusia 23" katanya. "Aku merasa belum siap. Rasanya aneh, seperti ada orang yang mendorongmu dari belakang”
"Aku punya dua bulan untuk bersiap-siap untuk itu" kataku sambil tertawa.
"Kau sangat beruntung masih 22!" Clara mengatakan dengan nada iri.
Selesai menyantap kue ulang tahun, kami membersihkan meja dan aku duduk di lantai, Clara tiduran diatas kakiku sambil mendengarkan musik dan minum sisa bir yang ada. Clara luar biasa cerewet malam itu. Dia bercerita tentang masa anak-anaknya, sekolahnya, keluarganya dan apa saja yang ada diingatannya. Dengan telaten ia menceritakan semuanya, aku kagum pada kekuatan ingatannya. Hujan kembali turun melewati jendela. The Doors menyanyikan People Are Strange untuk kedua kalinya. Waktu bergerak sangat perlahan. Clara terus berbicara sendiri, merangkai ingatannya.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi, terus terang aku sudah mulai gelisah. Clara berbicara tak henti selama lebih dari dua jam. Aku mulai mengantuk dan menunggu kesempatan memotong pembicaraannya. "Waktunya untuk pulang," kataku sambil melihat jam tanganku. "Sudah terlalu larut, kau pun harus tidur"
Ucapanku barusan tampaknya tidak mengusiknya sedikit pun, atau mungkin dia memang sengaja tidak memperdulikannya. Sejenak ia memang terdiam, tetapi kemudian clara melanjutkan ceritanya. Aku menyerah, memperbaiki posisi dudukku agar terasa lebih nyaman, kakiku mulai kesemutan memangku kepalanya. Aku membuka kaleng bir kedua.
Aku mulai berpikir tampaknya lebih baik membiarkan dia berbicara. Kantuk dan bosan biar kulawan sendiri.
Tidak begitu lama setelah memperbaiki posisi dudukku, Clara berhenti bicara. Kata-kata pada kalimat terakhirnya tidak begitu jelas kutangkap, semperti mengambang di udara begitu saja. Aku rasa dia memang tidak benar-benar menyelesaikan kalimatnya. Ingatan yang panjang lebar ia ceritakan menghilang tiba-tiba, dan mungkin akulah orang yang telah menghilangkannya. Ucapanku sepertinya baru mengusiknya sekarang, butuh waktu untuk mencernanya dan kemudian mencabut ingatannya.
Kami berdua sama-sama terdiam sapai bibirnya sedikit terbuka, ia memalingkan wajahnya namun setengah dari pandangannya tetap tertuju padaku. Menghakimiku atas dakwaan telah menghilangkan ingatannya yang akan panjang lebar ia ceritakan. Dia tampak seperti jam weker yang dicabut baterainya dengan paksa. Matanya tiba-tiba terlihat mendung, membran tipis terlihat dimatanya memaksa menahan air mata .
"Maaf mengganggu," kataku, "tapi sudah malam, dan ..."
Tangis tumpah dari matanya, membasahi pipinya dan terpercik ke bajunya. Setelah air mata pertama tumpah, air mata berikutnya mengalir tak putus-putus. Clara mulai membungkuk ke lantai, kedua telapak tangan menutupi wajahnya dan menangis. Aku masih bisa mendengar suara tangisnya meski ia sudah menahan dengan kedua telapak tangannya. Seumur hidup aku belum pernah melihat orang menangis begitu hebat. Aku coba untuk merangkulnya.
Kemudian, semua terjadi begitu alami, aku membawanya ke dalam pelukanku. Aku merasakan tubuhnya yang gemetar karena menangis sampai ia mulai menangis tanpa suara. Kemejaku basah oleh air mata dan dan dadaku terasa hangat karena nafasnya. Tanganya kini mulai melingkari punggungku. Tangan kiri kugunakan untuk menopang badannya, sedang tangan kanan kugunakan untuk membelai lembut, rambutnya yang lurus. Aku Menunggu. Dengan posisi seperti itu, aku menunggu untuk Clara berhenti menangis. Dan aku menunggu, tetapi Clara menangis tak henti.
Aku tidur dengannya malam itu. Apakah hal itu pantas untuk dilakukan? entahlah. Aku rasa aku tidak akan pernah tahu. Pada saat itu, hanya itu yang bisa kulakukan. Ketika itu Clara berada dalam puncak stres dan kebingungan, dan ia ingin aku menenangkannya. Aku mematikan lampu dan memulainya, dalam satu waktu, dengan sentuhan yang paling lembut yang bisa aku berikan, aku melepas seluruh pakaiannya.
Lalu aku melepas pakaianku juga. Aku masih merasa hangat, meski hujan bulan Oktober turun malam itu, aku rasa ia pun merasa hangat dan kami tetap tidak menggunakan sehalai pakian pun tanpa merasa dingin. Kami menjelajahi tubuh satu sama lain, di dalam kegelapan tanpa berkata-kata. Aku menciumnya dan memegang dadanya dengan lembut, ia membangkitkan gairahku.
Aku mulai bercinta dengannya, Clara mengerang kesakitan. “Apakah ini yang pertama kali?” Aku menanyakannya dan ia mengangguk. Sekarang giliranku berada pada puncak kebingungan. Selama ini aku berpikir Clara sudah tidur dengan kekasihnya. Aku terus masuk lebih dalam lalu berhenti untuk beberapa waktu, tanganku memegang tubuh Clara, tanpa bergerak. Dan kemudian, sesaat ia mulai tampak tenang, aku membiarkan diriku untuk bergerak lagi ke dalam dirinya, ada waktu yang cukup lama untuk mencapai klimaks, dengan gerakan lambat dan lembut. Tangannya menggenggam lenganku begitu erat, hingga teriaknnya akhirnya memecah keheningan. Teriakan orgasme paling menyedihkan dari yang pernah kupernah dengar.
Ketika selesai kami bercinta, aku bertanya mengapa ia belum pernah tidur dengan kekasihnya sampai saat ini. Pertanyaan tolol yang keluar begitu saja. Ia terdiam sejenak mendengar pertanyaanku itu dan mulai menangis lagi tanpa suara. Aku mengambil selimut dilemarinya, menyelimuti hampir seluruh tubuhnya sementara ia masih meringkuk menangis. Aku menyalakan rokokku, duduk di samping Clara dan memandang hujan bulan Oktober.
Hujan berhenti ketika pagi datang. Clara tidur memunggungiku. Mungkin ia tidak tidur sama sekali, tubuhnya sekarang tampak kaku, seperti beku. Aku mencoba beberapa kali berbicara dengannya, tapi dia menjawab atau bergerak sedikit pun. Aku menatap lama bahunya, tapi pada akhirnya aku bosan dan sia-sia lalu aku memutuskan untuk bangun.
Lantai masih penuh dengan pakaian yang berserakan, gelas, kaleng-kaleng bir dan puntung rokok. Kue ulang tahun yang kubawa masih bersisa, namun tak lagi menarik untuk dimakan. Aku merapikan barang-barang yang tercecer sebisaku dan minum sambil lalu memerhatikan kamar Clara. Pada mejanya terdapat kamus dan panduan berbahasa Perancis. Di dinding atas meja itu tergantung kalender, tanpa ilustrasi atau foto apapun, hanya jumlah hari-hari bulan. Ada tumpukan kertas kosong di bawah meja. Aku melihat ada buku catatan disana namun tak berani untuk membacanya.
Aku mengambil pakaian dan segera berpakaian. Dada kemejaku masih lembab, sedikit basah oleh tangis Clara. Aku masih dapat mencium bau Clara. Di sampingnya aku mengambil secarik kertas dan menulis: "Aku ingin bicara panjang denganmu apabila kau sudah merasa tenang. Hubungi aku. Selamat Ulang Tahun". Aku melihat bahu Clara sepnta, melangkah ke luar dan diam-diam menutup pintu.



-       Diterjemahkan sesuka-suka hati disertai penyesuaian sana sini dari Novel Haruki Murakami, Norwegian Wood (English Version, translated from Japanese by Jay Rubin) halaman 45 sampai dengan 50.

Jumat, 26 September 2014

Tentang Burhan dan Negara Kaya

Ketika masih duduk di SD Siang Malam Genjot Terus, seringkali Burham mendengar dari Bapak dan Ibu Guru yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara kaya. Ilustrasinya begini, Indonesia adalah negara dengan luas hampir 2 juta kilometer persegi maka logikanya dengan luas sedemikan rupa banyak kekayaan yang terkandung di dalamnya. Dengan logika seperti itu, kekayaan yang dimaksud berasal dari sumber daya alam, baik berupa hasil laut, pertanian, perkebunan hingga minyak dan gas. Ditambah dengan posisi geografis Indoesia dan jumlah populasi mendekati 250 juta jiwa maka potensi kekayaan tersebut dapat terkelola dengan baik. Kira-kira logika bapak dan ibu guru Burhan di sekolah dasar yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara kaya dibangun seperti itu, Burhan manggut-manggut tanda mengerti. Guru-guru di SD Siang Malam Genjot Terus memang melulu mengajar konsep dasar, seperti 4x6 adalah berbeda dengan 6x4.
Ketika sudah memasuki sekolah menengah pertama, Burhan bersekolah di SMP Negeri Diatas Awan. Teori yang pernah menyebutkan indonesia sebagai negara kaya dipertanyakan oleh Burhan kembali. Sebenarnya guru-guru di sekolah menengah pertama tersebut ingin menekankan kembali bahwa Indonesia adalah negara kaya namun Burhan adalah seorang anak dengan penuh rasa penasaran. Baginya sebuah negara disebut kaya tentu diukur dari kekayaannya, sederhananya demikian. Pasalnya, ia teringat ketika anak-anak lain sudah menggunakan handphone sedang Burhan belum memilikinya, teman-teman Burhan tersebut mempertanyakan apakah Burhan anak orang kaya atau tidak sebenarnya. Ibu guru di sekolah Burhan mencoba menjelaskan kepada Burhan, menarik lurus keatas secara definisi terlebih dahulu, kekayaan negara Indonesia merupakan ruang lingkup keuangan negara artinya semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Burhan bingung, dan bertanya:
“Kalau begitu apa saja yang termasuk hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang tersebut?”
“Kita lihat dari tiga sisi Burhan; dari sisi obyek, subyek dan tujuannya. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.”
“Bu, kan ada disebutkan kalau bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara, berarti termasuk dong bu?”
“Kan saya bilang yang dimiliki, dan/atau dikuasai oleh negara juga, berarti termasuk dong! nyimak gak sih?”
“Bu, ibu ngomongnya ribet sih, jadi kalau kekayaan negara meliputi apa saja bu?”
“Ya sederhananya sih mencakup segala sesuatunya baik berbentuk uang maupun barang, yang berwujud atau tidak baik bergerak atau tidak bergerak yang dimiliki, dikuasai serta kekayaan negara yang dipisahkan”
“Kok ada yang dipisahkan bu? Kenapa mereka harus berpisah bu? Apakah tidak ada lagi kecocokan diantara mereka?” Burhan mulai menitikkan air mata.
“Suatu saat kamu akan mengerti Burhan, mungkin ketika kamu lebih dewasa” ucap Ibu Guru sambil mencoba menenangkan Burhan.
***
Berhubung Burhan adalah anak yang nakal dan terlalu banyak menghisap lem aibon, ia masuk ke sekolah menengah atas yang tidak favorit. Dengan nilai ujian nasional yang semenjana, Burhan hanya bisa tembus di SMA CP NEH, SMA AQ AJA DECH. Masa-masa SMA memang penuh masa-masa cinta, seperti halnya Burhan yang mulai jatuh cinta dengan seorang gadis, Sheila namanya. Kisah cinta Burhan rupanya mirip-mirip dengan FTV, Sheila justru berpacaran dengan Amir, apalah daya cinta memang tak harus memiliki, pikir Burhan begitu. Ngomong-ngomong soal memiliki, Burhan masih bingung dengan konsep memiliki, menguasai atau bahkan memisahkan. Ia pun kembali bertanya dengan bapak guru di sekolahnya.
“Kalau memiliki itu misalkan Barang Milik Negara, artinya adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Perolehan lain yang sah itu dapat meliputi yang diperoleh dari hibah, berdasarkan perjanjian, berdasarkan ketentuan perundang-undangan maupun dari putusan pengadilan. Sederhananya adalah semua barang yang dibeli sendiri dan/atau yang kepemilikannya atas nama negara”
“Berarti seandainya cinta saya memiliki Stella, hanya apabila secara sah ya pak. Kalau menguasai dan juga memisahkan itu yang seperti apa pak?”
“Ya menguasai itu seperti halnya bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu dikuasai negara, berbeda secara konsep dengan memiliki, dalam hal legitimasi kepemilikan kira-kira” bapak guru yang sudah mulai bosan menjawab pertanyaan burhan terdiam sejenak, membakar rokok lalu melanjutkan kembali.
“Sedangkan memisahkan bisa kita ambil contoh kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Karena sudah dipisahkan pengelolaannya serta pertanggungjawabannya secara teknis pun berbeda, lebih kearah korporasi.”
Berbekal tambahan pengetahuan yang lumayan, Burhan memberanikan diri untuk berbincang kembali dengan ibu Gurunya di SMP Negeri Diatas Awan. Ia sudah mengerti perkara kekayaan yang dimiliki, dikuasai serta dipisahkan. Burhan menjelaskan, kekayaan adalah aset dalam bahasa lainnya.
“Jadi bu kalau kita berbicara tentang kekayaan maka kita bicara tentang aset sesungguhnya. Aset itu adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.” 
“Kalau gitu Burhan, dulu kamu bertanya pada Ibu apakah negara kita adalah negara kaya, bagaimana menurutmu sekarang”
Burhan terdiam, sungguh pun ia tak tahu jawaban atas pertanyaan ibu gurunya tersebut. Burhan tidak benar-benar tahun kekayaan negaranya sehingga ia pun tak berani mengatakan apakah negaranya kaya atau tidak kaya.
“Tapi bu, lihatlah tahun 2013 saja, Barang Milik Negara ini yang sudah tercatat nilainya 1.816 triliun bu, angka yang besar bukan? Misalkan kita lihat dari sisi aset pemerintah pusat saja bu, yang itu meliputi aset tetap, aset lancar, aset lainnya termasuk investasi dan piutang sudah mencapai 3.567 triliun di tahun 2013 bu”
“Bagaimana dengan yang kamu sebut kekayaan yang dipisahkan tadi?”
“Wah itu tidak kalah banyak, bisa mencapai 1.218 triliun, di tahun 2013 juga bu”
“Kalau nilai kekayaan yang terkandung dalam bumi, misalkan laut dan segala macamnya yang mana termasuk kekayaan yang dikuasai oleh negara?”
“Itu... itu saya belum tahu bu?” Burhan mulai gelagapan mennjawab pertanyaan ibu gurunya.
“Jadi sekarang, ibu bertanya lagi, apakah negara kita adalah negara kaya?”
“Saya tidak tahu bu”


Pontianak, 26 September 2014

Sabtu, 20 September 2014

Tentang Perjalanan

“We had longer ways to go. But no matter, the road is life”
-          Jack Kerouac, On The Road 

Untuk melakukan sebuah perjalanan, saya rasa, tidak perlu mencantumkan label diri sebagai pelancong. Untuk melakukan perjalanan pula, tak perlu berangkat dengan tendensi untuk bertamasya. Bisa saja melakukan perjalanan didasarkan oleh takdir, seperti saya sendiri misalkan, yang melakukan perjalanan atas dasar takdir.
Baru-baru ini saya mengingat bahwa saya cukup banyak melakukan perjalanan dari kota ke kota bukan dengan keinginan saya. Kalau bukan dengan keinginan saya sendiri, maka keinginan yang maha oke barangkali, makanya saya sebut perjalanan yang saya lakukan didasarkan oleh takdir. Takdir perjalanan saya diejawantahkan dengan berbagai cara; ikut dengan orang tua yang pindah tugas, kuliah, kerja, mendapat tugas dinas dan yang paling baru saya alami adalah SK Mutasi! Hore! Saya tak perlu repot-repot menunggu liburan panjang untuk melakukan perjalanan dari kota ke kota tersebut.
Sesungguhnya, selain atas dasar takdir tersebut saya juga banyak melakukan perjalanan sendiri atau melakukan perjalanan dalam waktu singkat, namun agar mempermudah kalkulasi perjalanan, saya hitung dari tempat dimana saya menetap lebih dari 30 hari. Kurang lebih rinciannya seperti ini; (1) Sekayu, Sumatera Selatan-Tarutung, Sumatera Utara (1081 KM). Saya lahir di Provinsi Sumatera Selatan dan lebih tepatnya di Sekayu. Menurut ibu saya, 20an tahun yang lalu, tempat ini minim akan fasilitas dan tidak layak direkomendasikan untuk menghabiskan hidup ala selebriti (oke!). Dibawah kesadaran saya, karena waktu itu saya benar-benar belum sadar sudah menjadi manusia, saya pindah -bersama orang tua saya tentunya- ke Tarutung, kota kecil di Sumatera Utara namun indah. Perjalanan jarak jauh pertama yang saya lakukan. Tarutung ini adalah tempat dimana saya sadar bahwasanya saya seorang manusia, seorang lelaki (dengan dibuktikan dari cara membuang air kecil), dapat berbicara dan dapat melakukan kegiatan-kegiatan kinetik. Kurang lebih 5 tahun saya tinggal di Tarutung, yang paling berkesan adalah kota ini mengenalkan saya pada hidup, dalam artian yang paling sederhana. (2) Tarutung, Sumatera Utara-Pekanbaru, Riau (423 KM). Walaupun saya sudah menjadi manusia meskipun memang belum cakap menurut hukum, saya tetap tidak dapat menolak untuk ikut pindah kota lagi, dari Tarutung ke Pekanbaru. Perjalanan kedua yang masuk dalam kualifikasi perjalanan atas dasar takdir ini. Kebetulan saya mampir di kota Pekanbaru cukup lama, sampai saya menamatkan pendidikan sekolah menengah di kota ini.
Sebenarnya saya melanggar syarat tulisan ini. Perjalanan kali ini tak murni sekadar takdir, ada keinginan saya untuk memulai perjalanan hidup sendiri. Rasanya sangat sayang melewatkan bagian mampir ke kota terbaik yang pernah saya tinggal ini. (3) Pekanbaru, Riau-Yogyakarta, DI Yogyakarta (1868 KM). Saya pergi ke Jogja dengan tujuan kuliah. Tinggal di kota ini dalam kurun waktu kurang lebih 4 tahun mengenalkan saya dengan hidup lebih jauh, lebih rumit dan lebih berarti. Tidak hanya sekadar mengenalkan saja, kota ini lebih tepatnya mengajarkan saya tentang hidup. Kalau hidup sekadar mampir untuk minum, maka saya mampir di kota ini untuk minum sangat banyak, perkara rasa minumannya memang bermacam-macam namun tetap membuat saya haus untuk mampir lagi ke kota ini.
Fase ketiga dalam hidup saya, seperti orang pada umumnya, setelah lahir, sekolah kemudian harus bekerja, saya mulai di Jakarta. Takdir juga yang mengharuskan saya berangkat ke Jakarta. (4) Yogyakarta, DI Yogyakarta-Jakarta, DKI Jakarta (549 KM). Pengalaman pertama saya untuk bekerja dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Tidak begitu lama, saya mendapat tugas di kota lain dan melakukan perjalanan lagi, tidak jauh-jauh dari jakarta, cukup bergerak ke selatan sedikit. (5) Jakarta, DKI Jakarta-Serpong, Banten-Jakarta, DKI Jakarta (65.8 KM). Setahun bekerja di Serpong saya kembali lagi ke Jakarta. Seiring waktu juga, saya mendapat beberapa tugas dari kantor ke luar kota ada dua kota yang saya habiskan untuk tinggal diatas 1 bulan; (6) Jakarta, DKI Jakarta-Surabaya, Jawa Timur (786 KM) dan (7) Jakarta, DKI Jakarta-Manado, Sulawesi Utara (3867 KM). Sampai akhirnya saya memutuskan pindah kerja dan kebetulan diterima di sebuah instansi pemerintah.
Seperti yang saya bilang sebelumnya, takdir bisa menjelma dengan berbagai cara, salah satunya adalah SK mutasi. Penempatan pertama saya sekaligus perjalanan pertama saya selaku pegawai di salah satu instansi pemerintah. (8) Jakarta, DKI Jakarta-Pontianak, Kalimantan Barat (811 KM). Melengkapi 9450,8 km perjalanan di usia saya yang belum genap 23 tahun. Sebulan lewat 3 hari sudah saya tinggal di kota ini, sebulan yang pertama karena saya tidak akan pernah tahu sampai kapan tinggal di kota ini. Saya belum mengenal betul kota ini, provinsi ini, namun bertemu dan berkenalan dengan orang-orang yang menyenangkan memberikan kesan kota ini akan menyenangkan. Ya disini saya bertemu orang-orang yang sungguh menyenangkan, yang menyambut saya dengan ramah dan hangat, berbaik hati mengajak saya berkenalan dengan kota ini. Hal itu menyadarkan saya bahwa perjalanan atas dasar takdir ini memang kehendak yang maha oke untuk mengajarkan saya untuk menyenangi hidup. Yang maha oke tersebut pulalah yang memainkan takdir dengan cara-cara menyenangkan.
***
Suatu hari, seorang asing pernah berpendapat menarik tentang hidup kepada saya. Katanya waktu itu, hidup seperti sebuah kereta dimana kita adalah keretanya yang sedang berjalan di satu rel ke suatu tujuan. Selama perjalanan itu kita akan berhenti ke beberapa tempat, melihat-lihat sejenak. Selama perjalanan itu, orang-orang akan keluar dan masuk, orang-orang tersebut adalah keluarga, teman, sahabat, relasi, pacar, istri, atau siapapun yang akan menemani perjalanan kita. Bagaimanapun dan siapapun yang ada dalam perjalanan tersebut, kereta itu tetap memiliki tujuannya masing-masing dan satu stasiun pemberhentian terakhir.


Pontianak, 20 September 2014

Jumat, 11 Juli 2014

Tentang Setelah Pemilihan Presiden 9 Juli 2014


Entah bagaimana nasib tim Brazil kedepannya, setelah dipermalukan Jerman 7-1 di Estadio Mineiras. Kekalahan tersebut tidak saja menyakitkan dari segi jumlah, tetapi juga mengingat piala dunia tahun ini pun digelar di Brazil, di rumah sendiri. Mengutip kata David Luiz setelah kekalahan di semi final tersebut, Brazil telah menderita banyak, ya banyak, piala dunia yang digelar di Brazil bukan tanpa kontroversi karena hingga menjelang  turnamen digelar aksi protes masih terjadi di Brazil dengan alasan pemborosan sementara banyak rakyat Brazil masih berkutat dalam kemiskinan. Seharusnya apabila menang, terlebih lagi juara, itu akan menjadi penyembuhan dari penderitaan rakyat Brazil.
Saya mempertanyakan bagaimana nasib tim Brazil kedepannya. Sejarah mengatakan,masyarakat Brazil terutama penggemar sepakbolanya, tidak serta merta bisa menerima kekalahan. Pada perhelatan Piala Dunia 1950, Brazil juga menjadi tuan rumah piala dunia. Partai akhir yang menentukan Brazil harus kalah dari Uruguay dengan skor 2-1 yang mana juga berarti menyerahkan gelar juara ke Uruguay yang sebenarnya sudah hampir digenggam Brazil. Peristiwa yang dikenal juga dengan istilah Maracanazo berbuntut panjang, pemberian gelar juara Uruguay dilakukan tanpa adanya perayaan. Tim yang memperkuat Brazil saat itu tidak bermain untuk Brazil selama 2 tahun dan tidak bermain di Maracana 4 tahun. Seragam kesebelasan Brazil pun diganti menjadi seperti yang kita kenal sekarang, kuning-hijau. Kabarnya pun ada yang bunuh diri akibat kekalahan tersebut.
Kembali ke Indonesia, perhelatan yang juga tidak kalah seru dari piala dunia adalah pemilihan presiden 2014 yang baru saja dilakukan 9 Juli kemarin. Hasil resmi pemenang pemilihan presiden belum dirilis oleh KPU, namun quick count yang dilakukan sudah beberapa lembaga riset sudah merilis hasilnya. Hasil ini berbuntut juga, masing-masing kubu saling klaim kemenangan dengan dasar quick count versi masing-masing yang kebetulan hasilnya menguntungkan bagi masing-masing kubu. Dari kubu nomor 1, Prabowo-Hatta mendasarkan hasil quick count dari 4 lembaga riset sedangkan dari kubu nomor 2 mendasarkan hasil  quick count dari 7 lembaga. Sesungguhnya tidak ada yang pasti tetapi quick count selama ini selalu mendekati yang pasti tersebut, seandainya selisih pun sebutlah itu margin error karena namanya juga hitung cepat yang metodanya hanya mengambil sample dari beberapa tempat. Anehnya, hasil quick count yang menjadi dasar masing-masing kubu bisa berbeda, tidak hanya soal angka tetapi juga hasilnya yang menentukan siapa pemenang pemilihan presiden kali ini.
Sementara salah satu kubu capres-cawapres sudah sujud syukur atas kemenangannya menurut quick count, di kubu yang lainnya suda rame-rame kumpul dan ada juga yang konvoi merayakan kemenangan juga. Sekali lagi, kedua kubu masih mendasarkan pada hasil quick count, yang bikin mengidik adalah apabila ahasil real count versi KPU yang mana hasil resmi pemenang pemilu tidak sesuai dengan ekspektasi dan hasil quick count versinya, akan bagaimana nantinya. Melihat aksi saling klaim ini, ngeri juga rasanya karena bisa dilihat ada potensi tidak siap untuk menerima kekalahan.
Masing-masing Capres-cawapres adalah negarawan, sikap negarawan tersebut yang sangat penting ditunjukkan pada saat-saat seperti ini, termasuk untuk legowo. Jangan sampai salah satu kubu menjadi seperti masyarakat Brazil menyikapi Maracanazo, tidak siap dan tidak mau mengakui kekalahan. Apabila terjadi demikian, akan banyak hal yang harus dikorbankan; untuk hal ini stabilitas keamanan misalkan. Sedangkan untuk yang menang, harus ingat falsafah yang pernah dilontarkan R.M Pandji Sosrokartono; Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake atau menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan. Bagaimanapun pemenang pemilihan presiden, sebagaimana sesuai konstitusi, baru diketahui setelah adanya versi resmi dari KPU. Menunggu pengumuman resmi pemenang pemilihan presiden oleh KPU tanggal 22 Juli nantinya tersebut, mungkin masing-masing capres-cawapres bisa membahas siapa yang menang, Jerman atau Argentina di final piala dunia 2014.

Padalarang, 11 Juli 2014