Kamis, 20 Juni 2013

Biar Kubacakan Kau Satu Puisi #1


Suatu senja di pantai utara Jakarta, disaat matahari mulai menukik tajam menuju gelap. Selepas jam kerja aku bertemu si dia, duduk di kursi beton menghadap laut dan diantara muda-mudi lain yang memulai adegan memadu cinta. Angin berhembus dari belakang, yang sayup-sayup membawa bau busuk, angin busuk yang mengacaukan sisiran rambutku yang rapi namun sedikit-sedikit mengangkat rok si dia hingga dia tersipu malu-malu. Kupegang tangannya dan kami mulai tenggelam dalam obrolan dan tatapan yang panjang.
“Biar kubacakan kau satu puisi”
“Puisi? Kamu yang bikin?”
“Bukan, temanku dari Jogja yang bikin”  Kataku padanya sambil merogoh-rogoh tas kerjaku, mencari buku puisi itu.
Kunyalakan rokokku dan asap mengebul memenuhi mukaku, kubuka halaman per halaman buku puisi itu mencari puisi yang paling pas menurutku. Dengan bantuan cahaya dari telepon genggamku, kubacakan satu puisi untuk si dia.
“Kenangan,
ia berjalan pelan, dingin menulang di kepalaku
menanam risau-risau
menyemai rindu dendam
dan berkisah tentang kepulangan”
Kucuri pandang mentap wajahnya, dan kulihat wajahnya yang manis menatap kosong laut yang mengabur dalam langit senja yang semakin petang. Ada sebuah rasa yang meledak-ledak dan berputar-putar diantara aku dan dia. Kemudian kulanjutkan bacakan dia puisi ini.
Debur ombak laut senggigi,
matahari..”
“Hush, kita di Pantai Ancol, bukan Senggigi, ganti saja kata-katanya” Katanya menyela deklamasi puisiku. Aku tersenyum. Ternyata, dia mendengarkan.
Bunga sisa panen tembakau meranggas
satu per satu mengurai rindu pada rumput dan tanah lempung yang membelah
lalu senja turun lagi, perlahan
memberi hangat rinduku bersama temaram”
Sejenak aku terdiam sehabis membacakan puisi itu. Untuk kali ini, mata kami bertemu saat kucuri pandang lagi melihatnya. Raut wajahnya berubah, seakan-akan menjadi sendu. Matanya yang berkaca-kaca memantulkan cahaya dari layar telepon genggamku.
“Apa judulnya?” Tanyanya padaku.
“Oh, judulnya rindu yang meranggas”
“Siapa yang sedang kamu rindukan?”
Aku kembali terdiam, kepalaku menunduk. Asap rokokku memerihkan mataku sendiri. Memang benar adanya, masih ada rasa yang meledak-ledak itu. Ada rasa rindu yang masih meranggas, dan terlalu cepat, semakin mengganas.


*Penceritaan atas sebuah puisi seorang kawan, Irwan Bajang atas puisi berjudul Rindu Yang Meranggas diambil dari buku Kepulangan Kelima.
Terimakasih atas bukunya kamerad!

Pramuka, 20 Juni 2013

Minggu, 09 Juni 2013

Adam Green & Binki Shapiro

Adam Green kembali datang, semua senang! Setelah nyaris 3 tahun hiatus dalam musik atau lebih tepatnya sejak terakhir kali merilis album eksperimentalnya, Musik For A Play, Adam Green kembali bermusik dan merilis album baru. Adam Green  kali ini menggandeng Binki Shapiro dalam album Adam Green & Binki Shapiro yang rilis Januari tahun ini. Musik yang diusung Green dan Binki Shapiro folk 60an seperti yang biasa dibawakan Green namun kali ini suara Binki Shapiro yang lembut dan manis menambahkan rasa tersendiri di album ini. Track pertama dari album ini, Here I Am dapat diunduh pada laman resmi Adam Green & Binki Shapiro sedangkan videoclip pertama juga sudah rilis dengan track, Just to Make Me Feel Good. And I feel so good while I listen to this whole album!

Sabtu, 08 Juni 2013

Aku Masih Percaya Pada Puisi


Untuk Neruda dan Seorang Wanita

Aku masih percaya pada puisi
Bahwasanya puisi bisa menggetarkan hati
Meluluhkan perasaan seorang wanita
Bahwasanya puisi bisa menggerakkan rakyat
Membakarkan api revolusi

Aku pun masih percaya pada cinta
Cinta yang timbul dari curian tatapan mata
Yang muncul bersama kebetulan-kebetulan indah
Seperti halnya aku percaya pada revolusi
Entah itu revolusi soal negara, cinta atau cerita-cerita derita

Aku percaya kalau kita ditakdirkan bersama
Takdir yang luruh dalam puisi-puisi Neruda

Cimone, Juni 2013

Ya Tuhan, Lindungi Bapak & Ibu Berdemo



“Lama sekali jam 6 datang” ujarku dalam hati. Di sudut kasur kapuk aku gelisah menunggu datangnya jam 6, dari jam yang kulihat menggantung maka masih sekitar 2 jam lagi datangnya. Aku semakin gelisah. Aku tak boleh bangun sekarang, nanti bisa mengganggu tidur bapak dan ibu dan aku bisa dipukul ibu laiknya waktu ibu memukul nyamuk yang biasa masuk dari sela-sela papan kayu dinding rumahku. Tapi perutku semakin kriuk-kriuk tak beraturan yang memancingku guling-guling di kasurku ke kanan-kiri, aku hanya bisa memegangi perutku yang lapar. Aku tak makan malam sebelumnya, habis mandi sepulang bermain-main aku langsung tidur, bapak dan ibu belum pulang sampai waktu nyaris tengah malam.
Beberapa hari ini, hampir tiap hari bapak dan ibu selalu pulang larut, sibuk sekali, katanya mereka ikut berdemo di siang hari dan ikut rapat di malam harinya. Bapak ikut demo menolak penggusuran rumah kami yang kawasannya akan dijadikan kawasan hijau, rumah kami dianggap mengganggu pemandangan, padahal daripada demo bapak dan teman-temannya seharusnya bergotong royong mengecat rumah-rumah menjadi warna hijau saja. Tapi namanya juga orang tua, telalu keras kepala, persoalan warna saja sampai berlarut-larut. Berbeda lagi dengan ibu, kalau ibu ikut demo bersama pedagang-pedagang pinggir rel kereta api. Kabarnya, tempat biasa ibu berdagang juga akan digusur oleh pemerintah, kali ini bukan soal warna, tapi demi keamanan dan keselamatan ibu dan para pedagang lainnya sendiri. Yang membuatku jadi bingung, kalau tujuannya sangat baik untuk para pedagang, kenapa ibu dan teman-teman pedagangnya harus capek-capek berdemo dan menentang penggusuran. Memang para orangtua, suka yang aneh-aneh.
Semenjak bapak dan ibu selalu pulang larut karna ikut demo, aku jadi jarang sekali makan malam, sehingga pagi-pagi sekali seperti ini aku harus meringkuk kelaparan. Ibu sering lupa meninggalkan makanan terlebih dahulu sebelum berangkat demo atau pun sebelum pergi rapat dan apalagi ayah, tak pernah mampir bawakan makanan sebelum berangkat rapat lagi. Aku tinggal sendiri di rumah, tak ada makanan buat makan malam. Untung-untung masih ada sisa makanan tadi pagi atau uang-uang receh dalam kaleng susu diatas meja makan kukumpulin buat beli makanan. Ah iya, tapi bagaimanapun aku lebih takut kalau ibu gak berangkat demo. Kemarin senen, dari dalam kamar, aku dengar ibu ngomong ke bapak:
Nek daganganku digusur, awake dewe kudu mangan opo?” makanya ibu harus demo setiap hari barangkali. Aku takut kalau-kalau ibu gak demo, trus dagangan ibu digusur. Aku bisa lebih susah buat makan, belum digusur saja aku sudah susah buat makan, bisa-bisa bukan hanya makan malam yang jarang kudapat, makan pagi pun aku bisa gak dapat.
Perutku semakin susah diajak berteman, semakin kencang aku guling-guling aku ditempat tidur sambil memegangi perutku yang lapar. Gara-gara menahan lapar aku pasti susah tidur. Kalau keadaan begini, biasanya aku cuma tidur 4 jam dan nanti di sekolah pasti ketiduran. Oh iya, aku juga dengar bapak juga ngomong ke ibu yang bikin aku makin takut kalau bapak gak pergi demo sehari saja, kemarin bapak bilang:
Lah nek omahe kene digusur, trus awake dewe turu nang ndi? Mosok balik kampung? Isin lah aku” Kalau bapak gak mau pulang kampung karna malu, terus rumah kami jadi digusur, aku bakal makin susah buat tidur dong. Kalau tidur di masjid masih mending sih, tapi kalau nanti tidurnya di taman atau trotoar, bisa habis aku dimakan nyamuk.
Sayup-sayup kudengar, suara adzan subuh berkumandang. Aku pun lekas terbangun dan keluar untuk mengambil wudhu. Ibuku tersentak bangun.
“Adek mau sholat subuh bu..”Aku jelaskan pada ibu mengapa aku tumben bangun begitu pagi. Ibuku tersenyum melihatku.
Aku mau sholat dan doa pada Tuhan, semoga Tuhan lindungi bapak dan ibuku berdemo hari ini, biar aku bisa kembali makan teratur dan tidur nyenyak.

Jakarta, Mei 2013

Puisi Pada Berita Koran

Siswa Mengadu Ujian Nasional ke Presiden
Kompas | No 282 Tahun ke 48 | Selasa 16 April 2013

Disandera Konsumsi (Hostaged by Consumption)

Photograph/Mixed Media (12 cm x 26 cm)

Bertemu Kembali Dengan Mirat


Di dalam kereta senja utama menuju Yogyakarta dari stasiun Senen, aku tersentak dari lamunanku tepat di stasiun jatinegara, persinggahan pertama kereta ini sebelum kembali berangkat hingga pada tujuan akhir. Seorang wanita manis duduk tepat dihadapanku. Maka mulailah mesin dalam otakku.
“Kelihatannya, kita pernah bertemu sebelumnya?” ujarku penuh basa basi, hanya sekadar untuk memulai pembicaraan dengan wanita ini karena aku tak pernah bertemu dengannya sesungguhnya, kalaupun pernah barangkali dalam mimpi.
“Maaf?”
“Oh berarti saya salah orang, maaf, tapi tidak ada salahnya untuk berkenalan. Namaku Chairil, orang tuaku mencatut nama Chairil Anwar untuk dijadikan namaku”
Obrolan pun bergulir semakin lama semakin larut, dari sekadar membahas buku yang ada ditangannya, The Stranger karya Camus, hingga pada persoalan lebih dalam mengenai pribadi masing-masing antara kami berdua seiring dalam kereta yang membawa kami maju bergerak. Aku selalu tahu cara untuk memulai obrolan dan ia pun kelihatannya selalu tahu cara menikmati obrolan itu. Waktu selalu tahu cara untuk mengakhiri obrolan. Tiba di Yogyakarta, pintu keluar lekas dikerubuti penumpang, termasuk kami berdua. Aku tak mau segera kehilangannya bersama penumpang-penumpang lain yang dimakan nyala dan kering.
“Maaf aku belum tahu namamu, boleh aku tahu?”
Dia menjawab sambil tersenyum manis, mulutku pun berdentam namun menyimpulkan senyum sendiri.
Namanya Mirat.


*Sebuah pembacaan dan penulisan kembali atas puisi Chairil Anwar yang berjudul “Berpisah Dengan Mirat”.

Peringatan 8 Tahun Kematian Munir

Pencil on Paper (21 cm x 21 cm)

Manekin & Etalase


Entah kemudian siapa yang lebih perkasa, manekin itu atau etalase-nya. Keduanya hanya terdiam dalam sunyi setelah ditinggal hiruk pikuk pengunjung pusat perbelanjaan tempat keduanya berdiam. Beberapa menit yang lalu, petugas kebersihan telah pula menyelesaikan pekerjaannya untuk mengepel lantai, melap jendela kaca, dan membersihkan sampah yang ada saja bertaburan dimana-mana, padahal ini pusat perbelanjaan, mewah pula.

Lampu telah dipadamkan di seluruh penjuru ruangan kecuali satu yang tertinggal untuk dimatikan, satu lampu yang menerangi manekin dan etalase pakaian olahraga buatan Jerman. Manekin tadi yang sepanjang hari diam mematung mulai angkat bicara dan memaki dinding kaca etalase yang di depannya dengan segala sumpah serapah. Memang kebiasaan manekin itu memaki si etalase yang tenang, barangkali caci maki itu untuk melepaskan penat si manekin.

“Heh bangsat! Kenapa terus diam? Sudah tak ada orang disini” seloroh si manekin kepada dinding kaca etalase yang memisahkannya dari sentuhan tangan manusia. Dinding kaca etalase itu tak mau menyahut makian manekin dan hanya menyerapnya menyeluruh. Gema caci maki hanya dibiarkan memantul kembali ke manekin itu sendiri oleh etalase. Namun rasa penasaran manekin semakin menjadi-jadi.

“Bajingan… Heh bodoh kau bisu atau apa? Sejak awal aku disini kau tak pernah bicara”
“Dasar tolol, diamlah! Aku hanya etalase dan kau manekin, kita tak seharusnya dapat bicara!” sahut etalase yang akhirnya bicara juga.

Yogyakarta, 31 Mei 2011