Sabtu, 08 Juni 2013

Bertemu Kembali Dengan Mirat


Di dalam kereta senja utama menuju Yogyakarta dari stasiun Senen, aku tersentak dari lamunanku tepat di stasiun jatinegara, persinggahan pertama kereta ini sebelum kembali berangkat hingga pada tujuan akhir. Seorang wanita manis duduk tepat dihadapanku. Maka mulailah mesin dalam otakku.
“Kelihatannya, kita pernah bertemu sebelumnya?” ujarku penuh basa basi, hanya sekadar untuk memulai pembicaraan dengan wanita ini karena aku tak pernah bertemu dengannya sesungguhnya, kalaupun pernah barangkali dalam mimpi.
“Maaf?”
“Oh berarti saya salah orang, maaf, tapi tidak ada salahnya untuk berkenalan. Namaku Chairil, orang tuaku mencatut nama Chairil Anwar untuk dijadikan namaku”
Obrolan pun bergulir semakin lama semakin larut, dari sekadar membahas buku yang ada ditangannya, The Stranger karya Camus, hingga pada persoalan lebih dalam mengenai pribadi masing-masing antara kami berdua seiring dalam kereta yang membawa kami maju bergerak. Aku selalu tahu cara untuk memulai obrolan dan ia pun kelihatannya selalu tahu cara menikmati obrolan itu. Waktu selalu tahu cara untuk mengakhiri obrolan. Tiba di Yogyakarta, pintu keluar lekas dikerubuti penumpang, termasuk kami berdua. Aku tak mau segera kehilangannya bersama penumpang-penumpang lain yang dimakan nyala dan kering.
“Maaf aku belum tahu namamu, boleh aku tahu?”
Dia menjawab sambil tersenyum manis, mulutku pun berdentam namun menyimpulkan senyum sendiri.
Namanya Mirat.


*Sebuah pembacaan dan penulisan kembali atas puisi Chairil Anwar yang berjudul “Berpisah Dengan Mirat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar