Sabtu, 20 September 2014

Tentang Perjalanan

“We had longer ways to go. But no matter, the road is life”
-          Jack Kerouac, On The Road 

Untuk melakukan sebuah perjalanan, saya rasa, tidak perlu mencantumkan label diri sebagai pelancong. Untuk melakukan perjalanan pula, tak perlu berangkat dengan tendensi untuk bertamasya. Bisa saja melakukan perjalanan didasarkan oleh takdir, seperti saya sendiri misalkan, yang melakukan perjalanan atas dasar takdir.
Baru-baru ini saya mengingat bahwa saya cukup banyak melakukan perjalanan dari kota ke kota bukan dengan keinginan saya. Kalau bukan dengan keinginan saya sendiri, maka keinginan yang maha oke barangkali, makanya saya sebut perjalanan yang saya lakukan didasarkan oleh takdir. Takdir perjalanan saya diejawantahkan dengan berbagai cara; ikut dengan orang tua yang pindah tugas, kuliah, kerja, mendapat tugas dinas dan yang paling baru saya alami adalah SK Mutasi! Hore! Saya tak perlu repot-repot menunggu liburan panjang untuk melakukan perjalanan dari kota ke kota tersebut.
Sesungguhnya, selain atas dasar takdir tersebut saya juga banyak melakukan perjalanan sendiri atau melakukan perjalanan dalam waktu singkat, namun agar mempermudah kalkulasi perjalanan, saya hitung dari tempat dimana saya menetap lebih dari 30 hari. Kurang lebih rinciannya seperti ini; (1) Sekayu, Sumatera Selatan-Tarutung, Sumatera Utara (1081 KM). Saya lahir di Provinsi Sumatera Selatan dan lebih tepatnya di Sekayu. Menurut ibu saya, 20an tahun yang lalu, tempat ini minim akan fasilitas dan tidak layak direkomendasikan untuk menghabiskan hidup ala selebriti (oke!). Dibawah kesadaran saya, karena waktu itu saya benar-benar belum sadar sudah menjadi manusia, saya pindah -bersama orang tua saya tentunya- ke Tarutung, kota kecil di Sumatera Utara namun indah. Perjalanan jarak jauh pertama yang saya lakukan. Tarutung ini adalah tempat dimana saya sadar bahwasanya saya seorang manusia, seorang lelaki (dengan dibuktikan dari cara membuang air kecil), dapat berbicara dan dapat melakukan kegiatan-kegiatan kinetik. Kurang lebih 5 tahun saya tinggal di Tarutung, yang paling berkesan adalah kota ini mengenalkan saya pada hidup, dalam artian yang paling sederhana. (2) Tarutung, Sumatera Utara-Pekanbaru, Riau (423 KM). Walaupun saya sudah menjadi manusia meskipun memang belum cakap menurut hukum, saya tetap tidak dapat menolak untuk ikut pindah kota lagi, dari Tarutung ke Pekanbaru. Perjalanan kedua yang masuk dalam kualifikasi perjalanan atas dasar takdir ini. Kebetulan saya mampir di kota Pekanbaru cukup lama, sampai saya menamatkan pendidikan sekolah menengah di kota ini.
Sebenarnya saya melanggar syarat tulisan ini. Perjalanan kali ini tak murni sekadar takdir, ada keinginan saya untuk memulai perjalanan hidup sendiri. Rasanya sangat sayang melewatkan bagian mampir ke kota terbaik yang pernah saya tinggal ini. (3) Pekanbaru, Riau-Yogyakarta, DI Yogyakarta (1868 KM). Saya pergi ke Jogja dengan tujuan kuliah. Tinggal di kota ini dalam kurun waktu kurang lebih 4 tahun mengenalkan saya dengan hidup lebih jauh, lebih rumit dan lebih berarti. Tidak hanya sekadar mengenalkan saja, kota ini lebih tepatnya mengajarkan saya tentang hidup. Kalau hidup sekadar mampir untuk minum, maka saya mampir di kota ini untuk minum sangat banyak, perkara rasa minumannya memang bermacam-macam namun tetap membuat saya haus untuk mampir lagi ke kota ini.
Fase ketiga dalam hidup saya, seperti orang pada umumnya, setelah lahir, sekolah kemudian harus bekerja, saya mulai di Jakarta. Takdir juga yang mengharuskan saya berangkat ke Jakarta. (4) Yogyakarta, DI Yogyakarta-Jakarta, DKI Jakarta (549 KM). Pengalaman pertama saya untuk bekerja dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Tidak begitu lama, saya mendapat tugas di kota lain dan melakukan perjalanan lagi, tidak jauh-jauh dari jakarta, cukup bergerak ke selatan sedikit. (5) Jakarta, DKI Jakarta-Serpong, Banten-Jakarta, DKI Jakarta (65.8 KM). Setahun bekerja di Serpong saya kembali lagi ke Jakarta. Seiring waktu juga, saya mendapat beberapa tugas dari kantor ke luar kota ada dua kota yang saya habiskan untuk tinggal diatas 1 bulan; (6) Jakarta, DKI Jakarta-Surabaya, Jawa Timur (786 KM) dan (7) Jakarta, DKI Jakarta-Manado, Sulawesi Utara (3867 KM). Sampai akhirnya saya memutuskan pindah kerja dan kebetulan diterima di sebuah instansi pemerintah.
Seperti yang saya bilang sebelumnya, takdir bisa menjelma dengan berbagai cara, salah satunya adalah SK mutasi. Penempatan pertama saya sekaligus perjalanan pertama saya selaku pegawai di salah satu instansi pemerintah. (8) Jakarta, DKI Jakarta-Pontianak, Kalimantan Barat (811 KM). Melengkapi 9450,8 km perjalanan di usia saya yang belum genap 23 tahun. Sebulan lewat 3 hari sudah saya tinggal di kota ini, sebulan yang pertama karena saya tidak akan pernah tahu sampai kapan tinggal di kota ini. Saya belum mengenal betul kota ini, provinsi ini, namun bertemu dan berkenalan dengan orang-orang yang menyenangkan memberikan kesan kota ini akan menyenangkan. Ya disini saya bertemu orang-orang yang sungguh menyenangkan, yang menyambut saya dengan ramah dan hangat, berbaik hati mengajak saya berkenalan dengan kota ini. Hal itu menyadarkan saya bahwa perjalanan atas dasar takdir ini memang kehendak yang maha oke untuk mengajarkan saya untuk menyenangi hidup. Yang maha oke tersebut pulalah yang memainkan takdir dengan cara-cara menyenangkan.
***
Suatu hari, seorang asing pernah berpendapat menarik tentang hidup kepada saya. Katanya waktu itu, hidup seperti sebuah kereta dimana kita adalah keretanya yang sedang berjalan di satu rel ke suatu tujuan. Selama perjalanan itu kita akan berhenti ke beberapa tempat, melihat-lihat sejenak. Selama perjalanan itu, orang-orang akan keluar dan masuk, orang-orang tersebut adalah keluarga, teman, sahabat, relasi, pacar, istri, atau siapapun yang akan menemani perjalanan kita. Bagaimanapun dan siapapun yang ada dalam perjalanan tersebut, kereta itu tetap memiliki tujuannya masing-masing dan satu stasiun pemberhentian terakhir.


Pontianak, 20 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar