Suatu senja di pantai utara Jakarta, disaat matahari mulai
menukik tajam menuju gelap. Selepas jam kerja aku bertemu si dia, duduk di
kursi beton menghadap laut dan diantara muda-mudi lain yang memulai adegan
memadu cinta. Angin berhembus dari belakang, yang sayup-sayup membawa bau
busuk, angin busuk yang mengacaukan sisiran rambutku yang rapi namun sedikit-sedikit
mengangkat rok si dia hingga dia tersipu malu-malu. Kupegang tangannya dan kami
mulai tenggelam dalam obrolan dan tatapan yang panjang.
“Biar kubacakan kau satu puisi”
“Puisi? Kamu yang bikin?”
“Bukan, temanku dari Jogja yang bikin” Kataku padanya sambil merogoh-rogoh tas
kerjaku, mencari buku puisi itu.
Kunyalakan rokokku dan asap mengebul memenuhi mukaku,
kubuka halaman per halaman buku puisi itu mencari puisi yang paling pas
menurutku. Dengan bantuan cahaya dari telepon genggamku, kubacakan satu puisi
untuk si dia.
“Kenangan,
ia berjalan pelan,
dingin menulang di kepalaku
menanam risau-risau
menyemai rindu dendam
dan berkisah tentang
kepulangan”
Kucuri pandang mentap wajahnya, dan kulihat wajahnya yang
manis menatap kosong laut yang mengabur dalam langit senja yang semakin petang.
Ada sebuah rasa yang meledak-ledak dan berputar-putar diantara aku dan dia.
Kemudian kulanjutkan bacakan dia puisi ini.
“ Debur ombak laut
senggigi,
matahari..”
“Hush, kita di Pantai Ancol, bukan Senggigi, ganti saja
kata-katanya” Katanya menyela deklamasi puisiku. Aku tersenyum. Ternyata, dia
mendengarkan.
“Bunga sisa panen
tembakau meranggas
satu per satu mengurai
rindu pada rumput dan tanah lempung yang membelah
lalu senja turun
lagi, perlahan
memberi hangat
rinduku bersama temaram”
Sejenak aku terdiam sehabis membacakan puisi itu. Untuk
kali ini, mata kami bertemu saat kucuri pandang lagi melihatnya. Raut wajahnya
berubah, seakan-akan menjadi sendu. Matanya yang berkaca-kaca memantulkan
cahaya dari layar telepon genggamku.
“Apa judulnya?” Tanyanya padaku.
“Oh, judulnya rindu yang meranggas”
“Siapa yang sedang kamu rindukan?”
Aku kembali terdiam, kepalaku menunduk. Asap rokokku
memerihkan mataku sendiri. Memang benar adanya, masih ada rasa yang meledak-ledak itu.
Ada rasa rindu yang masih meranggas, dan terlalu cepat, semakin mengganas.
*Penceritaan atas sebuah puisi seorang kawan,
Irwan Bajang atas puisi berjudul Rindu Yang Meranggas diambil dari buku
Kepulangan Kelima.
Terimakasih atas bukunya kamerad!
Pramuka, 20 Juni 2013