Di
dalam kereta senja utama menuju Yogyakarta dari stasiun Senen, aku tersentak
dari lamunanku tepat di stasiun jatinegara, persinggahan pertama kereta ini
sebelum kembali berangkat hingga pada tujuan akhir. Seorang wanita manis duduk
tepat dihadapanku. Maka mulailah mesin dalam otakku.
“Kelihatannya,
kita pernah bertemu sebelumnya?” ujarku penuh basa basi, hanya sekadar untuk
memulai pembicaraan dengan wanita ini karena aku tak pernah bertemu dengannya
sesungguhnya, kalaupun pernah barangkali dalam mimpi.
“Maaf?”
“Oh
berarti saya salah orang, maaf, tapi tidak ada salahnya untuk berkenalan.
Namaku Chairil, orang tuaku mencatut nama Chairil Anwar untuk dijadikan namaku”
Obrolan
pun bergulir semakin lama semakin larut, dari sekadar membahas buku yang ada
ditangannya, The Stranger karya
Camus, hingga pada persoalan lebih dalam mengenai pribadi masing-masing antara
kami berdua seiring dalam kereta yang membawa kami maju bergerak. Aku selalu
tahu cara untuk memulai obrolan dan ia pun kelihatannya selalu tahu cara
menikmati obrolan itu. Waktu selalu tahu cara untuk mengakhiri obrolan. Tiba di
Yogyakarta, pintu keluar lekas dikerubuti penumpang, termasuk kami berdua. Aku
tak mau segera kehilangannya bersama penumpang-penumpang lain yang dimakan
nyala dan kering.
“Maaf
aku belum tahu namamu, boleh aku tahu?”
Dia
menjawab sambil tersenyum manis, mulutku pun berdentam namun menyimpulkan
senyum sendiri.
Namanya
Mirat.
*Sebuah pembacaan dan penulisan kembali atas
puisi Chairil Anwar yang berjudul “Berpisah Dengan Mirat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar