“Lama sekali
jam 6 datang” ujarku dalam hati. Di sudut kasur kapuk aku gelisah menunggu
datangnya jam 6, dari jam yang kulihat menggantung maka masih sekitar 2 jam
lagi datangnya. Aku semakin gelisah. Aku tak boleh bangun sekarang, nanti bisa
mengganggu tidur bapak dan ibu dan aku bisa dipukul ibu laiknya waktu ibu
memukul nyamuk yang biasa masuk dari sela-sela papan kayu dinding rumahku. Tapi
perutku semakin kriuk-kriuk tak
beraturan yang memancingku guling-guling di kasurku ke kanan-kiri, aku hanya
bisa memegangi perutku yang lapar. Aku tak makan malam sebelumnya, habis mandi
sepulang bermain-main aku langsung tidur, bapak dan ibu belum pulang sampai
waktu nyaris tengah malam.
Beberapa hari
ini, hampir tiap hari bapak dan ibu selalu pulang larut, sibuk sekali, katanya
mereka ikut berdemo di siang hari dan ikut rapat di malam harinya. Bapak ikut
demo menolak penggusuran rumah kami yang kawasannya akan dijadikan kawasan
hijau, rumah kami dianggap mengganggu pemandangan, padahal daripada demo bapak
dan teman-temannya seharusnya bergotong royong mengecat rumah-rumah menjadi
warna hijau saja. Tapi namanya juga orang tua, telalu keras kepala, persoalan
warna saja sampai berlarut-larut. Berbeda lagi dengan ibu, kalau ibu ikut demo
bersama pedagang-pedagang pinggir rel kereta api. Kabarnya, tempat biasa ibu
berdagang juga akan digusur oleh pemerintah, kali ini bukan soal warna, tapi
demi keamanan dan keselamatan ibu dan para pedagang lainnya sendiri. Yang
membuatku jadi bingung, kalau tujuannya sangat baik untuk para pedagang, kenapa
ibu dan teman-teman pedagangnya harus capek-capek berdemo dan menentang
penggusuran. Memang para orangtua, suka yang aneh-aneh.
Semenjak bapak
dan ibu selalu pulang larut karna ikut demo, aku jadi jarang sekali makan
malam, sehingga pagi-pagi sekali seperti ini aku harus meringkuk kelaparan. Ibu
sering lupa meninggalkan makanan terlebih dahulu sebelum berangkat demo atau pun
sebelum pergi rapat dan apalagi ayah, tak pernah mampir bawakan makanan sebelum
berangkat rapat lagi. Aku tinggal sendiri di rumah, tak ada makanan buat makan
malam. Untung-untung masih ada sisa makanan tadi pagi atau uang-uang receh
dalam kaleng susu diatas meja makan kukumpulin buat beli makanan. Ah iya, tapi
bagaimanapun aku lebih takut kalau ibu gak berangkat demo. Kemarin senen, dari
dalam kamar, aku dengar ibu ngomong ke bapak:
“Nek daganganku digusur, awake dewe kudu
mangan opo?” makanya ibu harus demo setiap hari barangkali. Aku takut
kalau-kalau ibu gak demo, trus dagangan ibu digusur. Aku bisa lebih susah buat
makan, belum digusur saja aku sudah susah buat makan, bisa-bisa bukan hanya
makan malam yang jarang kudapat, makan pagi pun aku bisa gak dapat.
Perutku semakin
susah diajak berteman, semakin kencang aku guling-guling aku ditempat tidur
sambil memegangi perutku yang lapar. Gara-gara menahan lapar aku pasti susah tidur.
Kalau keadaan begini, biasanya aku cuma tidur 4 jam dan nanti di sekolah pasti
ketiduran. Oh iya, aku juga dengar bapak juga ngomong ke ibu yang bikin aku
makin takut kalau bapak gak pergi demo sehari saja, kemarin bapak bilang:
“Lah nek omahe kene digusur, trus awake dewe
turu nang ndi? Mosok balik kampung? Isin lah aku” Kalau bapak gak mau
pulang kampung karna malu, terus rumah kami jadi digusur, aku bakal makin susah
buat tidur dong. Kalau tidur di masjid masih mending sih, tapi kalau nanti
tidurnya di taman atau trotoar, bisa habis aku dimakan nyamuk.
Sayup-sayup
kudengar, suara adzan subuh berkumandang. Aku pun lekas terbangun dan keluar
untuk mengambil wudhu. Ibuku tersentak bangun.
“Adek mau
sholat subuh bu..”Aku jelaskan pada ibu mengapa aku tumben bangun begitu pagi. Ibuku
tersenyum melihatku.
Aku mau sholat
dan doa pada Tuhan, semoga Tuhan lindungi bapak dan ibuku berdemo hari ini,
biar aku bisa kembali makan teratur dan tidur nyenyak.
Jakarta, Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar