Entah kemudian siapa yang lebih perkasa, manekin itu atau
etalase-nya. Keduanya hanya terdiam dalam sunyi setelah ditinggal hiruk pikuk
pengunjung pusat perbelanjaan tempat keduanya berdiam. Beberapa menit yang
lalu, petugas kebersihan telah pula menyelesaikan pekerjaannya untuk mengepel
lantai, melap jendela kaca, dan membersihkan sampah yang ada saja bertaburan
dimana-mana, padahal ini pusat perbelanjaan, mewah pula.
Lampu telah dipadamkan di seluruh penjuru ruangan kecuali
satu yang tertinggal untuk dimatikan, satu lampu yang menerangi manekin dan
etalase pakaian olahraga buatan Jerman. Manekin tadi yang sepanjang hari diam
mematung mulai angkat bicara dan memaki dinding kaca etalase yang di depannya
dengan segala sumpah serapah. Memang kebiasaan manekin itu memaki si etalase
yang tenang, barangkali caci maki itu untuk melepaskan penat si manekin.
“Heh bangsat! Kenapa terus diam? Sudah tak ada orang
disini” seloroh si manekin kepada dinding kaca etalase yang memisahkannya dari
sentuhan tangan manusia. Dinding kaca etalase itu tak mau menyahut makian
manekin dan hanya menyerapnya menyeluruh. Gema caci maki hanya dibiarkan
memantul kembali ke manekin itu sendiri oleh etalase. Namun rasa penasaran
manekin semakin menjadi-jadi.
“Bajingan… Heh bodoh kau bisu atau apa? Sejak awal aku
disini kau tak pernah bicara”
“Dasar tolol, diamlah! Aku hanya etalase dan kau manekin,
kita tak seharusnya dapat bicara!” sahut etalase yang akhirnya bicara juga.
Yogyakarta,
31 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar