“Aku pernah mengenalmu”
“Maaf?”
“Aku pernah mengenalmu, di tempat lain, sudah cukup lama
memang”
Perempuan ini menatapku dengan heran. Aku hanya merasa
pernah bertemu dengannya, tapi aku tidak mengingatnya persis. Potongan
ingatanku secara acak merekam wajahnya,
pada waktu malam hari, ada asap rokok yang memenuhi ruangan, ada bir yang tak
henti-hentinya kuminum. Aku ingat, aku sedang mabuk ketika mengenalnya, tapi ia
tak mungkin ikut mabuk waktu itu. Kenapa perempuan ini tak mengenalku?
Kami berdua duduk berhadapan, di dalam kereta menuju
Jakarta. Kebetulan, takdir atau apalah itu namanya mempertemukan kami kembali.
Ia tak mengenalku atau barangkali ia lupa pernah mengenalku. Aku pernah
mengenal perempuan ini, tapi aku sendiri tidak begitu yakin. Ingatanku ini seperti
seluloid yang terpotong-potong, ada gambar bergerak yang terpisah-pisah padahal
satu kesatuan, tugasku untuk mengurutkannya. Aku mulai dengan menyamakan
wajahnya.
Aku memperhatikan wajahnya, mulai dari keningnya, alisnya,
lekuk matanya ke hidungnya, kantong matanya yang samar menghitam. Lanjut lagi
kuperhatikan hidungnya dan jerawat kecil yang tumbuh di pipinya. Bibirnya tak
pakai lipstik hari ini. ia memalingkan wajahnya menatap keluar jendela, rishi
tampaknya kuperhatikan begitu lama. Kureka ingatanku, wajahnya mirip, yang tak
serupa malam itu ia memakai lipstik merah dan jerawat belum tumbuh di pipinya.
Ah iya, ia perokok berat katanya waktu itu.
“Merokok mbak?”
“Maaf tidak mas, kenapa?”
“Tidak apa-apa”
Aih berbeda lagi, perempuan yang ini tidak merokok sedang
perempuan malam itu mengaku perokok berat. Lagian bodohnya aku menanyakan
apakah ia merokok atau tidak, konyol sekali, toh dalam kereta ini sepanjang
gerbongnya dilarang merokok. Tentu ia jawab ia tidak merokok, tidak mungkin merokok
disini dalam kereta ini. Aku tetap yakin aku pernah mengenalnya di suatu malam,
ada asap rokok yang memenuhi ruangan dan bir yang tak henti-hentinya kuminum.
Aku coba mengingat-ingat lagi, dimana kami bertemu dan kenapa aku bisa bertemu
sebelum akhirnya mengenalnya. Ruangan itu penuh asap rokok, pastilah sempit dan
tak banyak jendela. Aku meminum bir tak henti-henti, pastilah tempat itu tempat
minum-minum. Café atau bar barangkali.
Kereta terus berjalan, sesekali mampir di stasiun kecil
menaik turunkan penumpang. Sementara itu hari sudah gelap, aku masih mereja
ingatan. Seharusnya mudah saja, apabila ia tak mengenalku, kenalan dari awal
lagi tetapi ingatanku memaksa untuk dibuktikan. Lagipula perkenalan kami dulu
begitu hangat dan romantis. Ah ya romantis, kami berkenalan dalam suasana
romantis diluar kondisi ruangan yang sempit dan penuh asap rokok. Diluar
keadaanku yang mungkin saja mabuk pada waktu itu, tetapi perkenalan kami
romantis. Aku ingat aku jatuh cinta padanya setelah itu.
Perempuan dalam ingatanku sedang memainkan piano, aku
datang menghampirinya. Menikmati permainan pianonya, menikmati malam itu,
menikmatinya dari jarak yang lebih dekat. Aku memegang gelas bir penuh, ia asik
saja memainkan terus piano itu tak peduli tempat itu ramai dan bising. Aku
berdiri mendekatinya, menunggunya selesai bermain lalu mengajaknya berkenalan.
Ia memainkan Nocturno Op. 9 No. 2 karya Chopin, ia memainkannya nyaris
sempurna. Aku mengenalnya dan mengingatnya karena itu.
“Kamu seorang pianis?” tanyaku
“Ah bukan pianis, aku memang suka main piano”
“Aku mengenalmu saat kamu memainkan Chopin, di satu malam,
aku lupa tempat dan tepatnya”
“Benarkah? Aku lupa barangkali, maaf”
Potongan-potongan ingatanku perlahan tertata kembali,
seluloid itu tersambung membentuk gambar bergerak perkenalanku pertama dengan
perempuan ini. Ia mungkin memang bukan pianis, setidaknya gambaranku sama
tentang perempuan yang memainkan piano. Kereta yang membawa kami terus bergerak
menuju Jakarta, langit semakin gelap dan lampu-lampu mulai dinyalakan. Aku
tersenyum kepadanya, begitu yakin bahwa kami pernah berkenalan sebelumnya. Ia
balik tersenyum padaku.
Keretaku berhenti di stasiun Cirebon, untuk waktu yang lama
kali ini. Penumpang baru naik menggantikan penumpang-penumpang yang turun di
Cirebon, perempuan itu ikut turun, kami belum sempat bertukar nama sedang aku
lupa namanya. Perempuan yang lain menggantikan tempat duduknya. Rambutnya pendek,
memakai kacamata bulat, duduk dan tersenyum kepadaku. Rasanya aku juga pernah
mengenalnya.
Manado,
30 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar