Saya hampir menyerah untuk menulis di hari kedua
#5BukuDalamHidup, tetapi ada motivasi tersendiri kalau mengingat saya akan
bercerita tentang On The Road-nya
Jack Kerouac. Buku ini terlalu berharga untuk dilewatkan, buku yang hebatnya dapat menghadirkan mimpi buat saya. Mimpi untuk menjadi bebas, memiliki banyak waktu
untuk menyusuri sepanjang jalan sejauh apapun itu. Mimpilah yang menjadikan buku
ini begitu spesial bagi saya, karena dalam mimpi tersebut saya masih merasa
hidup.
“Somewhere along the line I knew there'd be
girls, visions,
everything; somewhere along the line the pearl would be handed to me.”
Kalimat tersebut merupakan penutup bab pertama
bagian kesatu buku Kerouac yang juga menjadi magnum opus-nya, On The Road. Buku ini menceritakan perjalanannya
bersama temannya yang ikonik, Neal Cassidy, untuk melintasi Amerika hingga ke
Mexico dengan segala suka duka, konflik, dilema dan drama di dalamnya yang
dituliskan dalam bentuk novel. On The Road menandai kebangkitan Beat Generation
pada akhir 50an di Amerika sekaligus menerjemahkan apa itu Beat Generation itu
sendiri. Bagi saya novel ini juga ikut menerjemahkan keinginan saya pribadi.
Dalam impian saya, saya ingin sekali bisa mengelilingi
dunia, berjalan-jalan dari satu negara ke negara yang lain, bertemu banyak
orang yang tidak saya kenal sebelumnya, berbicara dalam bahasa yang tidak
pernah saya gunakan. Saya tidak punya waktu untuk itu semua, atau semoga saja
hanya belum punya waktu untuk itu. Setelah lulus kuliah saya langsung bekerja
di ibukota, bekerja dari hari senin sampai jumat, untuk libur di sabtu dan minggu lebih
sering saya gunakan untuk berkumpul dengan teman atau orang tua dirumah,
kadang-kadang saya habiskan hanya untuk tiduran. Dalam setahun dikasih jatah cuti 12
hari, dan habis terpotong cuti bersama atau test kerja sana-sini, intinya saya belum
punya waktu untuk menyusuri jalan mengelilingi dunia.
Sebenarnya dengan uang tabungan saya bekerja 2 tahun
ini cukup jadi modal melakukan perjalanan, namun alasan lebih dalam saya belum
melakukannya adalah saya terlalu takut untuk melepas pekerjaan, melepas gaji
yang lumayan setiap bulannya untuk melakukan perjalanan. Kata teman saya, saya
takut miskin padahal bekerja sebagai karyawan pun tak membuat saya jadi kaya. Saya
masih main-main di zona aman dan nyaman dalam hidup hingga memendam mimpi saya
tentang perjalanan. Mimpi itu hanya tersalurkan melalu membaca buku, dan On The
Road lebih dari pas menggambarkan mimpi saya itu, atau seperti yang saya
sebutkan sebelumnya; menerjemahkan keinginan saya.
Dengan membaca novel ini, saya merasa peran saya
yang dilakon Sal Paradise tambahannya saya punya teman melakukan perjalanan
tersebut, dengan Dean Moriarty. Dalam peran itu saya menyetir mobil menyusuri
jalanan jauh, menonton jazz di malam hari, minum bir tak putus-putus sampai
mampus, menghisap mariyuana dan tidur dengan gadis-gadis cantik. Hal-hal yang
sebagian besar sering saya lakukan, tetapi peran itu dimainkan dalam setiap
kata di setiap halaman yang saya baca entah kenapa lebih nikmat. Kebebasan,
tanpa adanya keterikatan dalam melakukan hal-hal tersebut yang tidak saya
dapatkan. Dalam peran itu mimpi saya sesungguhnya hadir dan menjadikan saya
merasa hidup oleh karenanya.
Di mimpi yang saya mau menyetir mobil menyusuri
jalan itu adalah untuk bertualang, bukan menyetir mobil pulang kerja dan
terjebak macet berjam-jam. Saya juga mau minum bir tak putus-putus tanpa
khaawatir keesokan harinya tak bangun dan terlambat kerja. Saya mau menonton
jazz di malam hari bukan melalui Youtube. Untuk menghisap mariyuana dan tidur
dengan gadis-gadis cantik siapa yang tak mau?
“Nothing behind me, everything ahead of me,
as is ever so on the road”
Berhubung ini persoalan mimpi, ini persoalan apa
yang hendak akan saya lakukan. Semoga saja ada waktu untuk menjadi Sal Paradise
di On The Road. Banyak hal yang perlu dibenahi dan dipersiapkan untuk melakukan
mimpi-mimpi itu agar jadi kenyataan. Untuk sementara ini saya hanya bisa
mencoba optimis seperti Sal dalam menghadapi segala sesuatunya. Ya setidaknya
menjalani rutinitas menjadi seorang karyawan swasta yang 8 jam kerja/hari pun
sebuah petualangan tersendiri, kadangkala menyenangkan juga.
“we had longer ways to go. But no matter, the
road is life”
Manado, 13 November 2013
akhirnya selesai juga nih nulis si magnum opus. hahahaha. hari ketiga akan lebih berat
BalasHapus