Ah, life is a gate , a way, a path to Paradise anyway, why not live for fun and joy and love or some sort of girl by a fireside, why not go to your desire and LAUGH...Big Sur, Jack Kerouac
Sabtu, 30 November 2013
Kenalan
“Aku pernah mengenalmu”
“Maaf?”
“Aku pernah mengenalmu, di tempat lain, sudah cukup lama
memang”
Perempuan ini menatapku dengan heran. Aku hanya merasa
pernah bertemu dengannya, tapi aku tidak mengingatnya persis. Potongan
ingatanku secara acak merekam wajahnya,
pada waktu malam hari, ada asap rokok yang memenuhi ruangan, ada bir yang tak
henti-hentinya kuminum. Aku ingat, aku sedang mabuk ketika mengenalnya, tapi ia
tak mungkin ikut mabuk waktu itu. Kenapa perempuan ini tak mengenalku?
Kami berdua duduk berhadapan, di dalam kereta menuju
Jakarta. Kebetulan, takdir atau apalah itu namanya mempertemukan kami kembali.
Ia tak mengenalku atau barangkali ia lupa pernah mengenalku. Aku pernah
mengenal perempuan ini, tapi aku sendiri tidak begitu yakin. Ingatanku ini seperti
seluloid yang terpotong-potong, ada gambar bergerak yang terpisah-pisah padahal
satu kesatuan, tugasku untuk mengurutkannya. Aku mulai dengan menyamakan
wajahnya.
Aku memperhatikan wajahnya, mulai dari keningnya, alisnya,
lekuk matanya ke hidungnya, kantong matanya yang samar menghitam. Lanjut lagi
kuperhatikan hidungnya dan jerawat kecil yang tumbuh di pipinya. Bibirnya tak
pakai lipstik hari ini. ia memalingkan wajahnya menatap keluar jendela, rishi
tampaknya kuperhatikan begitu lama. Kureka ingatanku, wajahnya mirip, yang tak
serupa malam itu ia memakai lipstik merah dan jerawat belum tumbuh di pipinya.
Ah iya, ia perokok berat katanya waktu itu.
“Merokok mbak?”
“Maaf tidak mas, kenapa?”
“Tidak apa-apa”
Aih berbeda lagi, perempuan yang ini tidak merokok sedang
perempuan malam itu mengaku perokok berat. Lagian bodohnya aku menanyakan
apakah ia merokok atau tidak, konyol sekali, toh dalam kereta ini sepanjang
gerbongnya dilarang merokok. Tentu ia jawab ia tidak merokok, tidak mungkin merokok
disini dalam kereta ini. Aku tetap yakin aku pernah mengenalnya di suatu malam,
ada asap rokok yang memenuhi ruangan dan bir yang tak henti-hentinya kuminum.
Aku coba mengingat-ingat lagi, dimana kami bertemu dan kenapa aku bisa bertemu
sebelum akhirnya mengenalnya. Ruangan itu penuh asap rokok, pastilah sempit dan
tak banyak jendela. Aku meminum bir tak henti-henti, pastilah tempat itu tempat
minum-minum. Café atau bar barangkali.
Kereta terus berjalan, sesekali mampir di stasiun kecil
menaik turunkan penumpang. Sementara itu hari sudah gelap, aku masih mereja
ingatan. Seharusnya mudah saja, apabila ia tak mengenalku, kenalan dari awal
lagi tetapi ingatanku memaksa untuk dibuktikan. Lagipula perkenalan kami dulu
begitu hangat dan romantis. Ah ya romantis, kami berkenalan dalam suasana
romantis diluar kondisi ruangan yang sempit dan penuh asap rokok. Diluar
keadaanku yang mungkin saja mabuk pada waktu itu, tetapi perkenalan kami
romantis. Aku ingat aku jatuh cinta padanya setelah itu.
Perempuan dalam ingatanku sedang memainkan piano, aku
datang menghampirinya. Menikmati permainan pianonya, menikmati malam itu,
menikmatinya dari jarak yang lebih dekat. Aku memegang gelas bir penuh, ia asik
saja memainkan terus piano itu tak peduli tempat itu ramai dan bising. Aku
berdiri mendekatinya, menunggunya selesai bermain lalu mengajaknya berkenalan.
Ia memainkan Nocturno Op. 9 No. 2 karya Chopin, ia memainkannya nyaris
sempurna. Aku mengenalnya dan mengingatnya karena itu.
“Kamu seorang pianis?” tanyaku
“Ah bukan pianis, aku memang suka main piano”
“Aku mengenalmu saat kamu memainkan Chopin, di satu malam,
aku lupa tempat dan tepatnya”
“Benarkah? Aku lupa barangkali, maaf”
Potongan-potongan ingatanku perlahan tertata kembali,
seluloid itu tersambung membentuk gambar bergerak perkenalanku pertama dengan
perempuan ini. Ia mungkin memang bukan pianis, setidaknya gambaranku sama
tentang perempuan yang memainkan piano. Kereta yang membawa kami terus bergerak
menuju Jakarta, langit semakin gelap dan lampu-lampu mulai dinyalakan. Aku
tersenyum kepadanya, begitu yakin bahwa kami pernah berkenalan sebelumnya. Ia
balik tersenyum padaku.
Keretaku berhenti di stasiun Cirebon, untuk waktu yang lama
kali ini. Penumpang baru naik menggantikan penumpang-penumpang yang turun di
Cirebon, perempuan itu ikut turun, kami belum sempat bertukar nama sedang aku
lupa namanya. Perempuan yang lain menggantikan tempat duduknya. Rambutnya pendek,
memakai kacamata bulat, duduk dan tersenyum kepadaku. Rasanya aku juga pernah
mengenalnya.
Manado,
30 November 2013
Sabtu, 16 November 2013
Dan Tentang Dua Buku Yang Gagal Untuk Ditulis
Baiklah,
saya gagal melanjutkan lagi 2 tulisan tentang buku yang mempengaruhi hidup di
#5BukuDalamHidup , pertama padatnya waktu kerja dan kedua saya memang tidak
sulit menjadi rajin untuk menulis. Meskipun ini sekarang-sekarang ini musim
hujan, tapi saya mau katakan: Gomen ne Summer!
Sebenarnya
saya berniat menuliskan cerita 2 buku sisanya, sudah ada dua buku yang saya
siapkan:
- Free Culture: How Big Media Uses Technology and the Law to Lock Down Culture and Control Creativity – Lawrence Lessig. Buku ini menuntun saya menjadi penganut copyleft sekaligus pendukung setia free sharing. Buku ini juga landasan saya dalam menulis skripsi yang mengantar saya mendapatkan label sarjana. Awalnya saya membacanya dari ebook yang disebar gratis, tetapi November tahun lalu, pada sebuah konferensi sekaligus peluncuran Creative Commons Indonesia, saya mendapatkan versi cetak sekaligus terjemahan bahasa Indonesia. Gratis pula.
- Bumi Manusia – Pramoedya Ananta Toer. Saya menyukai sastra dan mulai rajin membaca karena buku ini. deskripsi tersebut sudah cukup menggambarkan betapa mempengaruhinya buku pertama dalam tetralogi buru ini.
Begitulah,
itulah 2 buku yang tadinya hendak saya lanjut ceritakan.
Serang,
16 November 2013
Rabu, 13 November 2013
#5BukuDalamHidup : Heavier Than Heaven (A Biography of Kurt Cobain) - Charles R Cross
Heavier Than Heaven (A Biography of Kurt Cobain) - Charles R Cross |
Ada satu masa, semasa saya kuliah, saya berpenampilan
begitu kumal. Rambut gondrong dan jarang disisir, menggunakan sweater wol yang tak
dicuci berhari-hari, celana jeans dengan robek di dengkul dan sneaker converse
kotor. Dandanan saya seperti itu karena pada masa itu saya sangat
mengagumi Kurt Donald Cobain, vokalis/gitaris sekaligus pentolan Nirvana. Sampai sekarang pun masih mengaguminya. Sulit
untuk tidak mengenal Nirvana, saya sendiri baru bisa bicara sewaktu Cobain mati
bunuh diri, tapi saya masih kebagian pengaruh musiknya. Saya mulai mengenal
lagu-lagu Nirvana sejak SMP dari CD kumpulan MP3 bajakan dan benar-benar
tergila-gila ketika kuliah karena kebetulan tetangga kamar kost saya juga
penggemar berat Grunge. Buku Heavier
Than Heaven menjadi kitab suci pedoman hidup bagi saya sebagai penggemar
Nirvana.
Heavier Than Heaven adalah biografi Cobain yang ditulis
Charles R. Cross, berisi kisah masa kecil Cobain, jurnal-jurnal harian,
wawancara dengan istrinya Courtney Love, wawancara dengan rekan satu band
Nirvana dan orang-orang yang mengenal Cobain secara dekat. Kisah hidup Cobain
ditulis dengan begitu rinci juga dramatis, terlebih di kisah akhir hidup
Cobain. Buku ini sendiri saya beli dari pameran buku di Jogja, harganya cukup
murah mungkin karena tidak laku lagi, sudah bukan masanya. Heavier Than Heaven sendiri
terbit di tahun 2001 tetapi saya baru membeli dan membacanya medio tahun 2008,
saya memang terlambat mengetahui adanya buku ini tetapi momennya menjadi tepat
karena waktu-waktu itulah saya sangat tergila-gila dengan Nirvana. Semacam
petunjuk Tuhan dalam menemukan kitab suci, saya menemukan kitab suci ketika
saya mulai mendalami.
Sebagai kitab suci, Heavier Than Heaven menuntun saya untuk
berpenampilan urakan, meniru sang idola. Saat itu saya juga mulai belajar gitar
memainkan lagu-lagu Nirvana namun berakhir gagal karena masalah bakat. Hal yang
saya bisa lakukan untuk mengikuti Cobain hanya berpenampilan seperti Cobain.
Hanya karena ingat nasehat ibu, saya tidak ikut-ikutan memakai obat-obatan
seperti Cobain, juga tidak berencana untuk menembak kepala saya dengan shotgun
di usia 27 tahun. Selebihnya saya mengikuti Cobain, bahkan sampai saya
berpura-pura sebagai seorang dengan gangguan mental dan penderita depresi akut.
Membaca Heavier Than Heaven, saya merasa semakin akrab
dengan Nirvana. Melalui buku tersebut, saya dapat mengetahui latar belakang
kehidupan Cobain dan latar belakang lagu-lagu yang diciptakannya. Saya bahkan
dapat mengetahui arti dari judul lagu Nirvana paling fenomenal, Smell Like Teen
Spirit, yang ternyata merk parfum teman kencan Cobain. Memahami kehidupan
Cobain dari sudut pandang buku ini, membuat saya mengaguminya sekaligus membuat saya begitu iba padanya. Menjadi
terkenal justru semakin menekan mentalnya, hingga akhirnya ia harus mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri, namun kematian pulalah menjadikannya legenda abadi.
“I’m going to be a superstar musician, kill
myself and go out in a flame of glory” Kata Cobain suatu kali kepada
temannya. Ya, ia telah menjadi superstar dan medapatkan kejayaannya.
Mempengaruhi saya dan jutaan penggemarnya yang lain. Pengaruh yang tercipta
dari karya-karyanya juga kisah hidupnya yang dituliskan di Heavier Than Heaven,
kitab suci saya dan pedoman hidup saya waktu itu. Tetapi waktu terus berganti
dan tampilan saya sekarang pun berganti. Sekarang saya memang sudah berpotongan
rambut rapi, selalu mengenakan baju dan celana bersih, memakai sepatu pantofel
tetapi masih menjadi saya yang mengagumi dan akan selalu mengagumi Kurt Cobain.
Manado, 14 November
2013
#5BukuDalamHidup : On The Road - Jack Kerouac
Saya hampir menyerah untuk menulis di hari kedua
#5BukuDalamHidup, tetapi ada motivasi tersendiri kalau mengingat saya akan
bercerita tentang On The Road-nya
Jack Kerouac. Buku ini terlalu berharga untuk dilewatkan, buku yang hebatnya dapat menghadirkan mimpi buat saya. Mimpi untuk menjadi bebas, memiliki banyak waktu
untuk menyusuri sepanjang jalan sejauh apapun itu. Mimpilah yang menjadikan buku
ini begitu spesial bagi saya, karena dalam mimpi tersebut saya masih merasa
hidup.
“Somewhere along the line I knew there'd be
girls, visions,
everything; somewhere along the line the pearl would be handed to me.”
Kalimat tersebut merupakan penutup bab pertama
bagian kesatu buku Kerouac yang juga menjadi magnum opus-nya, On The Road. Buku ini menceritakan perjalanannya
bersama temannya yang ikonik, Neal Cassidy, untuk melintasi Amerika hingga ke
Mexico dengan segala suka duka, konflik, dilema dan drama di dalamnya yang
dituliskan dalam bentuk novel. On The Road menandai kebangkitan Beat Generation
pada akhir 50an di Amerika sekaligus menerjemahkan apa itu Beat Generation itu
sendiri. Bagi saya novel ini juga ikut menerjemahkan keinginan saya pribadi.
Dalam impian saya, saya ingin sekali bisa mengelilingi
dunia, berjalan-jalan dari satu negara ke negara yang lain, bertemu banyak
orang yang tidak saya kenal sebelumnya, berbicara dalam bahasa yang tidak
pernah saya gunakan. Saya tidak punya waktu untuk itu semua, atau semoga saja
hanya belum punya waktu untuk itu. Setelah lulus kuliah saya langsung bekerja
di ibukota, bekerja dari hari senin sampai jumat, untuk libur di sabtu dan minggu lebih
sering saya gunakan untuk berkumpul dengan teman atau orang tua dirumah,
kadang-kadang saya habiskan hanya untuk tiduran. Dalam setahun dikasih jatah cuti 12
hari, dan habis terpotong cuti bersama atau test kerja sana-sini, intinya saya belum
punya waktu untuk menyusuri jalan mengelilingi dunia.
Sebenarnya dengan uang tabungan saya bekerja 2 tahun
ini cukup jadi modal melakukan perjalanan, namun alasan lebih dalam saya belum
melakukannya adalah saya terlalu takut untuk melepas pekerjaan, melepas gaji
yang lumayan setiap bulannya untuk melakukan perjalanan. Kata teman saya, saya
takut miskin padahal bekerja sebagai karyawan pun tak membuat saya jadi kaya. Saya
masih main-main di zona aman dan nyaman dalam hidup hingga memendam mimpi saya
tentang perjalanan. Mimpi itu hanya tersalurkan melalu membaca buku, dan On The
Road lebih dari pas menggambarkan mimpi saya itu, atau seperti yang saya
sebutkan sebelumnya; menerjemahkan keinginan saya.
Dengan membaca novel ini, saya merasa peran saya
yang dilakon Sal Paradise tambahannya saya punya teman melakukan perjalanan
tersebut, dengan Dean Moriarty. Dalam peran itu saya menyetir mobil menyusuri
jalanan jauh, menonton jazz di malam hari, minum bir tak putus-putus sampai
mampus, menghisap mariyuana dan tidur dengan gadis-gadis cantik. Hal-hal yang
sebagian besar sering saya lakukan, tetapi peran itu dimainkan dalam setiap
kata di setiap halaman yang saya baca entah kenapa lebih nikmat. Kebebasan,
tanpa adanya keterikatan dalam melakukan hal-hal tersebut yang tidak saya
dapatkan. Dalam peran itu mimpi saya sesungguhnya hadir dan menjadikan saya
merasa hidup oleh karenanya.
Di mimpi yang saya mau menyetir mobil menyusuri
jalan itu adalah untuk bertualang, bukan menyetir mobil pulang kerja dan
terjebak macet berjam-jam. Saya juga mau minum bir tak putus-putus tanpa
khaawatir keesokan harinya tak bangun dan terlambat kerja. Saya mau menonton
jazz di malam hari bukan melalui Youtube. Untuk menghisap mariyuana dan tidur
dengan gadis-gadis cantik siapa yang tak mau?
“Nothing behind me, everything ahead of me,
as is ever so on the road”
Berhubung ini persoalan mimpi, ini persoalan apa
yang hendak akan saya lakukan. Semoga saja ada waktu untuk menjadi Sal Paradise
di On The Road. Banyak hal yang perlu dibenahi dan dipersiapkan untuk melakukan
mimpi-mimpi itu agar jadi kenyataan. Untuk sementara ini saya hanya bisa
mencoba optimis seperti Sal dalam menghadapi segala sesuatunya. Ya setidaknya
menjalani rutinitas menjadi seorang karyawan swasta yang 8 jam kerja/hari pun
sebuah petualangan tersendiri, kadangkala menyenangkan juga.
“we had longer ways to go. But no matter, the
road is life”
Manado, 13 November 2013
Langganan:
Postingan (Atom)