Lagi-lagi senja, kali ini berhadapan dengan
perempuan yang bernama Juli, janji kencan di warung kopitiam, di Pasar Minggu.
Ada singkong goreng sebagai kudapan dan juga dua cangkir kopi diantara aku dan
dia, yang mana merangsang-rangsang untuk segera dilahap, bukan Juli tapi
singkong goreng itu maksudku. Tak tahan kupandang wajahnya dan senyumnya yang
manis dengan gigi ginsul yang muncul
malu-malu meluar garis bibirnya yang tipis. Sebentar kualihkan mataku, mengarah
pada kata-kata di dinding yang mengutip sajak Chairil Anwar, aku tersentak.
Kutawarkan pada gadis manis dihadapanku, apakah ia keberatan bila kubacakan
satu puisi?
“Puisi? Aku baru kali ini dibacakan puisi,
puisi siapa?”
“Puisi Chairil Anwar, bagus nih puisinya” Mataku
kali ini tertuju pada telepon genggamku, mencoba mencari sajak lengkap Chairil
Anwar tersebut.
“Apa judulnya?”
“Lagu Biasa, nah ini dia, mau ya kubacakan
ya..”
Ia mengangguk pelan, sambil tersenyum.
Tangannya memangku dagunya dan menunjukkan isyarat bahwasanya ia sudah siap
dengarkan puisi yang akan kubacakan.
“Di teras rumah makan kami kini
berhadapan,
Baru
berkenalan. Cuma berpandangan”
Kami berhadapan dan mata beradu,
berpandangan. Lututku lemas, seakan-akan puisi ini menemukan rohnya sendiri. Kubakar
rokokku dan kuhisap perlahan, untuk sadarkan diri.
“Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan,
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan Carmen pula”
Membayangkan pada komposisi Georges Bizet dan
libretto Henri Meilhac, aku terbawa suasana sendiri dan larut dalam melodi yang juga dimainkan sendiri oleh kepalaku. Terasa sungguh berkelas. Kucuri pandang
wajahnya lewat sudut kacamataku, ia mengerling, ia ketawa dan rumput kering
terus menyala. Kemudian ia berkata, dengan suaranya yang nyaring tinggi.
“Aku suka kau bacakan puisi itu”
Darahku pun terhenti berlari.
“Ketika
orkes memulai Ave Maria
Kuseret ia kesana..”
Serang, 07 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar