Rasanya kurang dalam seminggu di sosial media atau biasa
disebut sosmed, terutama twitter, ramai kicauan pandangan atau pendapat
terhadap dua isu yang lagi hangat. Pertama mengenai mogok dokter atas nama
solidaritas profesi terhadap “kriminalisasi” tiga dokter yang divonis bersalah
oleh putusan kasasi MA dan yang kedua mengenai kasus pelecehan seksual atau
lebih tegasnya pemerkosaan oleh seorang penyair terkenal kepada seorang
mahasiswi. Ramai karena kedua isu ini masing-masing membelah opini pengguna sosmed
menjadi pro maupun kontra. Kemudian bagaimana dengan pemberitaan media massa,
apakah perlu berpihak juga dalam pembahasan isu?
Ihwal pro-kontra yang ramai di sosmed tentunya berawal dari
pemberitaan media massa. Seperti halnya obrolan di warung kopi, kicauan-kicauan
di twitter pun sama, bedanya hanya pada penggunaan perangkat elektronik dan
keduanya sama-sama membicarakan pemberitaan yang diangkat media massa tersebut.
Peran media massa dari masa ke masa selalu pada posisi vital penggiringan opini
publik dan seiring itu juga selalu timbul pertanyaan mengenai netralitas
pemberitaan. Pada isu pertama, mengenai mogok dokter, banyak dokter-dokter atau
pihak yang pro pada aksi mogok atau pihak yang menolak vonis bersalah dokter
banyak yang mempertanyakan atau bahkan menyalahkan posisi media massa dalam
pemberitaan isu. Mereka menganggap adanya provokasi yang berujung pencitraan
buruk pada profesi dokter. Pada isu yang kedua, mengenai kasus pelecehan
seksual si penyair terkenal lebih menarik karena yang bersangkutan tergabung
pada komunitas yang boleh dibilang sangat dekat ke salah satu media massa
unggulan di negeri ini yang kemudian mengasilkan sentimen publik yang
menganggap bahwa media massa tersebut cenderung bela sejawat dan coba
mengalihkan isu pelecehan seksual menjadi drama keluarga.
Tidak ada yang salah apabila media massa berpihak, tetapi
dengan beberapa catatan. Keberpihakan media menurut saya salah satu bagian dari
kemerdekaan pers dalam hal menyampaikan informasi yang dilindungi
undang-undang, selain itu keberpihakan timbul karena sifat pemberitaan sendiri
merupakan gagasan si pewarta yang tidak lepas dari pandangan si pewarta yang
sifatnya subyektif. Dari gagasan tersebutlah publik dapat melihat integritas
pewarta. Baik dan buruk keberpihakan tentu relatif, tergantung pada subyek
penerima berita sehingga istilah netralitas menurut saya tidak tepat untuk
menilai suatu pemberitaan. Netralitas adalah posisi tengah dan tidak adanya
kecenderungan berpihak pada satu hal, sedangkan pemberitaan merupakan kontruksi
realitas yang diikuti penafsiran maka netralitas menjadi soal yang relatif
untuk menilai pemberitaan. Menurut saya, apabila media massa menarik diri dari
keberpihakan justru akan membiarkan realitas tanpa adanya rekontruksi tersebut.
Sayang sekali apabila fakta justru dibiarkan bergulir tanpa adanya penafsiran. Maka
disini media massa perlu berpihak pada apa yang mereka anggap sebuah kebenaran.
Bagaimanapun tetap ada catatan yang harus diperhatikan
dalam pemberitaan. Tentunya prinsip cover
both sides tidak boleh lepas dalam pemberitaan yaitu menampilkan dua sisi
pemberitaan. Untuk hal ini pemberitaan yang mengangkat realitas yang terjadi
harus tetap mengangkat informasi dari dua sisi yang berbenturan dalam
pemberitaannya. Informasi dua sisi yang berbenturan haruslah pula seimbang
dalam isi pemberitaannya sedangkan penafsiran informasi tersebut terserah si
pewarta. Menurut saya, media massa saat ini telah menjunjung etik tersebut dan
sekali lagi soal penafsiran terlalu relatif sehingga keberpihakan merupakan hal
sangat mungkin terjadi. Apabila menyimpang, subyek pemberitaan tentu memiliki
hak jawab yang juga dilindungi dalam UU Pers No. 40 th 1999.
Catatan lain saya mengutip The Elements of Journalism karya Bill Kovach mengenai prinsip
aktivitas jurnalisme antara lain; (1) kewajiban pencari kebenaran (2) loyalitas
kepada masyarakat (3) disiplin verifikasi (4) independensi dari objek sumber
(5) pemantau kekuasaan (6) akomodatif untuk kritik publik (7) menarik dan
relevan (8) proporsional dan komprehensif dan (9) tanggung jawab moral. Media
massa dituntut demikian dalam pemberitaan. Begitupun pada kode etik profesi
pewarta yang kurang lebih juga menyangkut prinsip-prinsip yang dikemukakan
sebelumnya. Saya kembali lagi ke penyataan awal saya, media massa tidak dapat
dilihat pada posisi netral tetapi dinilai bagaimana sebuah pemberitaan menjunjung
kode etik profesi pewartanya. Kemudian bagaimana apabila akibat keberpihakan
media massa tersebut tidak dapat memuaskan kebutuhan informasi publik?
Kita mengenal istilah citizen
journalism atau jurnalisme warga. Disinilah publik yang tidak berprofesi
resmi sebagai pewarta untuk dapat menafsirkan kembali pemberitaan sebagai alat
bantu pemuas kebutuhan informasi yang tidak disampaikan atau salah tafsir oleh
pemberitaan media massa. Pada perkembangannya citizen journalism justru dapat dijadikan
ajang perlawanan terhadap pemberitaan media massa. Pada jurnalisme warga,
publik dapat melawan keberpihakan pemberitaan media massa atau bahkan mengamini
pemberitaan tersebut. Jurnalisme warga dapat lebih banal dalam hal pemberitaan
dibandingkan media massa karena faktor jumlah. Banyak media yang dapat digunakan
untuk jurnalisme warga; blog atau sosmed pun dapat dijadikan jurnalisme warga
sebagai medianya. Netralitas juga sama tidak dapat dijadikan nilai dalam
jurnalisme warga tersebut, bahkan tidak mungkin karena kecenderungannya jurnalisme
warga justru berangkat dari opini baik melawan atau mengamini pemberitaan media
massa. Peran jurnalisme warga inilah yang kita tunggu untuk melawan salah
tafsir media massa.
Kesimpulan saya, dalam hal menyikapi pemberitaan media
massa peran publik yang harus didorong, salah satunya menggunakan jurnalisme
warga. Publik yang harus memainkan kontrol sosialnya bukan media massa.. Sadar
atau tidak media massa juga berperan sebagai kontrol sosial dengan penggiringan
opini melalui pemberitaannya. Maka apabila kontrol yang dijalankan media massa
tersebut justru menjerumuskan publik pada hal buruk atau bahkan menyetir
mengurangi rasa keadilan publik, maka mengutip sajak Wiji Thukul; hanya ada
satu kata: Lawan! – dengan jurnalisme warga!