Di satu sore di kota Pontianak, hujan turun deras.
Hujan kali ini terasa istimewa mengingat beberapa minggu kebelakang, panas
menyengat kota yang dilalui garis imajiner khatulistiwa ini. Hujan kali ini
selain istimewa juga membawa perasaan melankoli. Seandainya saya adalah Sapardi
maka yang terpikirkan adalah untuk membuatkan sebuah puisi yang romantis. Namun
saya bukan Sapardi, untungnya demikian, yang terpikirkan oleh saya adalah
gorengan casu quo bakwan.
Bakwan -seringpula disebut dengan bala-bala-, sebagaimana nasib
teman-teman sesama gorengan lainnya sering diabaikan dalam isu pangan nasional.
Pengabaian ini juga berimbas tidak masuknya gorengan sebagai suatu objek yang
menjadi perhatian pemerintah. Yang selalu menjadi perhatian oleh pemerintah
melulu tentang kelangkaan daging sapi, impor bawang merah, harga cabai merah
dan yang lagi hangat saat ini: soal beras. Gorengan tidak pernah diperhatikan
bahkan namanya disebut dalam wacana berskala nasional pun tidak. Bahkan dalam satu
kesempatan Bapak Menteri Pertanian mengatakan konsumsi beras turun dikarenakan
masyarakat makan mie instan. Lha itu mie instan disebut-sebut, gorengan kok tidak,
sungguh mengecewakan.
Acara televisi dengan tema masak-masak pun
demikian, jarang atau bahkan tidak pernah sama sekali menampilkan cara memasak
gorengan yang baik, membedah persoalan cita rasa dan bumbu untuk memasak
gorengan yang pas. Sudah sangat jarang media cetak maupun elektronik yang
menyinggungan gorengan. Padahal, meskipun belum pernah ditweet sama GNFI saya
rasa gorengan itu asli Indonesia. Tidak ada juga penelitian yang pernah dipublikasikan
-sepengetahuan saya- meneliti secara detil tentang gorengan, padahal masih
banyak hal yang belum selesai tentang gorengan dimana hal tersebut menarik untuk
dibahas. Plus permasalahan-permasalahan seputar gorengan yang belum selesai
untuk terpecahkan. Untuk mempersempit konteks, gorengan yang saya bicarakan
disini adalah bakwan, salah satu jenis gorengan termasyhur.
Ada adagium atau peribahasa yang mengatakan:
Ada Udang Dibalik Bakwan, namun seberapa sering anda menemukan udang dibalik
bakwan? Saya sendiri sebagai pencinta bakwan sudah tidak pernah menemukan udang
dibalik, didalam, diluar bakwan. Hal ini menurut saya karena semakin rusaknya
ekosistem udang. Semisal mangrove sebagai salah satu ekosistem udang, pemanfaatan
sumber daya pesisir yang menyebabkan berkurangnya populasi mangrove juga
berpengaruh pada rusaknya ekosistem udang. Imbasnya? Udang semakin sulit
ditemukan di pasaran, apalagi dibalik bakwan. Bukankah ini adalah isu
lingkungan hidup juga, namun permasalahan ini tidak pernah dibicarakan pun
diselesaikan oleh pemerhati, peneliti, maupun aktivis lingkungan.
Selain permasalahan lingkungan, persoalan
kelas pada bakwan pun jadi problematika yang belum terselesaikan. Bakwan bisa
terbagi menjadi beberapa kelas dari kelas pedagang pinggir jalan hingga kelas
restoran indonesia keminggris yang
salah satu menunya adalah bakwan. Marx pernah berujar sejarah manusia adalah
sejarah pertentangan kelas, begitu pun dengan sejarah bakwan. Ada pertentangan
kelas bakwan restorang dan bakwan pinggir jalan, perlakuan atas bakwan dari
kelas-kelas tersebut tidak adil. Bakwan kelas pinggir jalan dicap tidak lebih
sehat dan bersih dibanding bakwan kelas restoran.
Pertentangan ini pun semakin terlihat nyata
dari kesenjangan harga bakwan itu sendiri. Saya ragu harga bakwan di restoran
tersebut dinilai dari biaya rata-rata tenaga kerja bahkan bukan tidak mungkin
teori nilai lebih berlaku pula
disini.
Permasalahan dan hal lain yang belum juga
terselesaikan bagi saya adalah alasan logis mengapa perempuan dengan
keringat bercucuran dan mulut yang berminyak sehabis makan bakwan dan sebiji
cabe rawit, terlihat lebih cantik?
Pontianak, 25 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar