Apa yang salah dengan menunggu? Kalau melihat yang
belakangan kejadian maka menunggu rasanya bukan perbuatan yang salah, tidak
juga sia-sia. Tentu ada syarat mutlak untuk menunggu yang tidak sia-sia: jangan
menunggu seperti Vladimir maupun Estragon. Mereka berdua terlalu bodoh untuk
terus menunggu datangnya Godot, bahkan muka orang yang ditunggu saja mereka
tidak tahu persis. Sudahlah, itu pelajaran penting soal menunggu yang bisa
diambil dari Waiting for Godot, drama
karya Samuel Beckett.
Bagi orang-orang yang sedang menunggu, termasuk saya di dalamnya, kejadian belakangan yang saya maksud sungguh menginspirasi. Kejadian
tersebut bisa meneguhkan orang-orang untuk terus menunggu. Ada dua kejadian
penting di minggu lalu.
Kejadian penting pertama adalah rilisnya mini-drama Ada Apa
Dengan Cinta (AADC) setelah 12 tahun berselang. Sungguh pun siapa yang nyana
ada lagi, kalau bisa disebut sequel,
dari film legendaris itu. Sebelumnya memang ada versi sinetronnya, namun susah
masuk hitungan bagi penggemar yang tergila-gila film tersebut. Bayangkan
legendarisnya film tersebut bisa mengubah selera gadis-gadis SMA untuk
tergila-gila pada lelaki yang misterius, sebelumnya pastilah yang bertubuh
atletis atau bercita rasa musik tinggi. Atau membaca buku bagi seorang pria
adalah kegiatan yang juga keren untuk dilakukan. Sayang sekali jaman cepat
berlalu, ketika saya SMA sudah beda lagi seleranya.
Mini-drama tersebut membius orang-orang yang menjadi saksi
mata hebohnya film tersebut. Tidak sedikit tentunya orang yang mendaulat film
ini menjadi film Indonesia terbaik dan mendaulat serta Dian Sastro menjadi
wanita tercantik di negara ini. Saya sendiri termasuk orang-orang tersebut,
selama 12 tahun ini pun saya menonton film ini berulang-ulang, terutama 4 tahun
belakangan ketika saya mendapat kopian
filmnya. Tidak sadar saya menunggu rilisnya sequel
ini, haru biru ketika menonton mini-drama tersebut. Namun tidak saya sendiri
yang menunggu, Cinta pun ternyata menunggu Rangga pulang atau sekadar memberi
kabar selama 12 tahun itu. Wow! Ini baru pelajaran berharga tentang menunggu.
Ternyata bisa juga membuahkan hasil, sebagai bukti Rangga pulang ke Indonesia, memberi
kabar pada Cinta dan mengajaknya untuk bertemu kembali meski cuma punya waktu 2
hari. (bangsat juga ini si Rangga)
Meskipun kisah Cinta yang menunggu Rangga pulang itu luar
biyasa, kisah itu masih kalah banyak dengan kisah yang sesungguhnya terjadi
minggu lalu. Kejadian kedua yang menjadi inspirasi adalah Persib yang menunggu
19 tahun lamanya untuk menjadi juara lagi. Persib selama 19 tahun ini bukan tim
enteng, mereka selalu menjadi lawan berbahaya setiap musim setiap tahunnya.
Secara finansial misalkan, disaat tim lain kembang kempis menghidupi diri,
Persib masih bisa dibilang stabil. Jangan lupa bicara soal dukungan, bobotoh selalu loyal untuk mendukung
mereka. Saya tahu rasanya Bandung yang senyap ketika Persib main, hampir
semuanya menonton langsung maupun tidak langsung mereka berlaga, Namun apa
daya, tidak pernah sekalipun mengecap gelar juara hingga hari jumat tanggal 7
November di stadion Jakabaring, mereka mampu membuktikan diri. Tidak sia-sia
menunggu menjadi juara.
Tentang menunggu, jauh sebelum minggu lalu Florentino Ariza sudah membuktikannya dalam
novel Gabriel Garcia Marquez, Love in the
time of Cholera. Sama seperti AADC sebenarnya, memang cuma fiksi namun
dapat menjadi inspirasi juga dalam soal tunggu-menunggu. Dalam kisahnya
diceritakan Florentino menunggu 51 tahun 9 bulan dan 4 hari lamanya untuk
mendapatkan kembali cinta Fermina. Meskipun ada 622 perempuan yang pernah
singgah dalam hidup Florentino, cinta Fermina lah yang selalu ia tunggu. Menunggu
memang butuh pengorbanan, waktu yang terutama, tapi pertanyaannya adalah apakah
pantas atau tidak untuk menunggu. Cinta, Persib maupun Florentio yakin,
menunggu adalah suatu pekerjaan pantas untuk dilakukan. Persib tidak akan
pernah tahu sebelumnya bahwa mereka akan juara setelah 19 tahun atau Cinta yang
menunggu 12 tahun atau Florentino tidak
akan pernah tahu kalau Fermina akhirnya bisa luluh hatinya setelah 51 tahun.
Mereka semua tahu jawaban yang mereka tungu karena memang mereka menunggu itu.
Sekarang
giliran saya sendiri, setelah mendapat pelajaran-pelajaran demikian untuk
melanjutkan menunggu. Apakah saya akan punya pacar setelah 23 tahun?
Pontianak, November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar