Pertengahan bulan Oktober, Clara berusia tepat 23 tahun,
lebih tua 2 bulan dariku. Suatu hal yang aneh rasanya menyadari Clara yang akan
berusia 23 tahun ini. Aku hanya merasa satu-satunya hal yang masuk akal,
baginya atau bagiku, adalah berusia diantara 21 dan 22. Seandainya dapat
begini; ketika berusia 21 lalu kemudian berulang tahun untuk usia ke 22,
setelah 22 kembali ke usia 21. Namun kali ini ia akan berusia 23 dan nanti di
bulan Desember, aku juga sama. Ya, memang hanya orang mati tetap di usia 20 selamanya.
Hujan turun menyambut hari ulang tahun Clara, namun bagaimanapun
aku sudah berjanji untuk datang ke rumahnya. Sepulang kerja aku menyempatkan
diri untuk mampir membeli kue ulang tahun untuknya di toko roti yang tidak jauh
dari kantorku. "Kita harus membuat perayaan!" kataku. Aku juga akan
menginginkan hal yang sama jika aku berada diposisinya saat ini. Pasti sebuah
hal yang sulit untuk berulang tahun sendirian. Pukul dua belas kurang, aku sudah
memasang lilin diatas kue ulang tahunnya, menyalakannya, lalu mematikan lampu,
aku memang memiliki bakat untuk merayakan ulang tahun. Clara sudah menyiapkan empat
kaleng bir. Kami minum, makan kue ulang tahun tersebut, dan menikmati perayaan
ulang tahun yang sederhana.
"Entahlah, aku hanya merasa tolol berusia 23"
katanya. "Aku merasa belum siap. Rasanya aneh, seperti ada orang yang
mendorongmu dari belakang”
"Aku punya dua bulan untuk bersiap-siap untuk itu"
kataku sambil tertawa.
"Kau sangat beruntung masih 22!" Clara mengatakan
dengan nada iri.
Selesai menyantap kue ulang tahun, kami membersihkan meja dan
aku duduk di lantai, Clara tiduran diatas kakiku sambil mendengarkan musik dan minum
sisa bir yang ada. Clara luar biasa cerewet malam itu. Dia bercerita tentang masa
anak-anaknya, sekolahnya, keluarganya dan apa saja yang ada diingatannya. Dengan
telaten ia menceritakan semuanya, aku kagum pada kekuatan ingatannya. Hujan
kembali turun melewati jendela. The Doors menyanyikan People Are Strange untuk kedua kalinya. Waktu bergerak sangat perlahan.
Clara terus berbicara sendiri, merangkai ingatannya.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi, terus terang
aku sudah mulai gelisah. Clara berbicara tak henti selama lebih dari dua jam.
Aku mulai mengantuk dan menunggu kesempatan memotong pembicaraannya. "Waktunya
untuk pulang," kataku sambil melihat jam tanganku. "Sudah terlalu
larut, kau pun harus tidur"
Ucapanku barusan tampaknya tidak mengusiknya sedikit pun,
atau mungkin dia memang sengaja tidak memperdulikannya. Sejenak ia memang
terdiam, tetapi kemudian clara melanjutkan ceritanya. Aku menyerah, memperbaiki
posisi dudukku agar terasa lebih nyaman, kakiku mulai kesemutan memangku
kepalanya. Aku membuka kaleng bir kedua.
Aku mulai berpikir tampaknya lebih baik membiarkan dia
berbicara. Kantuk dan bosan biar kulawan sendiri.
Tidak begitu lama setelah memperbaiki posisi dudukku, Clara
berhenti bicara. Kata-kata pada kalimat terakhirnya tidak begitu jelas
kutangkap, semperti mengambang di udara begitu saja. Aku rasa dia memang tidak
benar-benar menyelesaikan kalimatnya. Ingatan yang panjang lebar ia ceritakan
menghilang tiba-tiba, dan mungkin akulah orang yang telah menghilangkannya. Ucapanku
sepertinya baru mengusiknya sekarang, butuh waktu untuk mencernanya dan
kemudian mencabut ingatannya.
Kami berdua sama-sama terdiam sapai bibirnya sedikit terbuka,
ia memalingkan wajahnya namun setengah dari pandangannya tetap tertuju padaku. Menghakimiku
atas dakwaan telah menghilangkan ingatannya yang akan panjang lebar ia
ceritakan. Dia tampak seperti jam weker yang dicabut baterainya dengan paksa.
Matanya tiba-tiba terlihat mendung, membran tipis terlihat dimatanya memaksa
menahan air mata .
"Maaf mengganggu," kataku, "tapi sudah malam,
dan ..."
Tangis tumpah dari matanya, membasahi pipinya dan terpercik
ke bajunya. Setelah air mata pertama tumpah, air mata berikutnya mengalir tak
putus-putus. Clara mulai membungkuk ke lantai, kedua telapak tangan menutupi
wajahnya dan menangis. Aku masih bisa mendengar suara tangisnya meski ia sudah
menahan dengan kedua telapak tangannya. Seumur hidup aku belum pernah melihat
orang menangis begitu hebat. Aku coba untuk merangkulnya.
Kemudian, semua terjadi begitu alami, aku membawanya ke dalam
pelukanku. Aku merasakan tubuhnya yang gemetar karena menangis sampai ia mulai
menangis tanpa suara. Kemejaku basah oleh air mata dan dan dadaku terasa hangat
karena nafasnya. Tanganya kini mulai melingkari punggungku. Tangan kiri
kugunakan untuk menopang badannya, sedang tangan kanan kugunakan untuk membelai
lembut, rambutnya yang lurus. Aku Menunggu. Dengan posisi seperti itu, aku menunggu
untuk Clara berhenti menangis. Dan aku menunggu, tetapi Clara menangis tak
henti.
Aku tidur dengannya malam itu. Apakah hal itu pantas untuk
dilakukan? entahlah. Aku rasa aku tidak akan pernah tahu. Pada saat itu, hanya itu
yang bisa kulakukan. Ketika itu Clara berada dalam puncak stres dan
kebingungan, dan ia ingin aku menenangkannya. Aku mematikan lampu dan memulainya,
dalam satu waktu, dengan sentuhan yang paling lembut yang bisa aku berikan, aku
melepas seluruh pakaiannya.
Lalu aku melepas pakaianku juga. Aku masih merasa hangat, meski
hujan bulan Oktober turun malam itu, aku rasa ia pun merasa hangat dan kami
tetap tidak menggunakan sehalai pakian pun tanpa merasa dingin. Kami menjelajahi
tubuh satu sama lain, di dalam kegelapan tanpa berkata-kata. Aku menciumnya dan
memegang dadanya dengan lembut, ia membangkitkan gairahku.
Aku mulai bercinta dengannya, Clara mengerang kesakitan. “Apakah
ini yang pertama kali?” Aku menanyakannya dan ia mengangguk. Sekarang giliranku
berada pada puncak kebingungan. Selama ini aku berpikir Clara sudah tidur
dengan kekasihnya. Aku terus masuk lebih dalam lalu berhenti untuk beberapa
waktu, tanganku memegang tubuh Clara, tanpa bergerak. Dan kemudian, sesaat ia mulai
tampak tenang, aku membiarkan diriku untuk bergerak lagi ke dalam dirinya, ada
waktu yang cukup lama untuk mencapai klimaks, dengan gerakan lambat dan lembut.
Tangannya menggenggam lenganku begitu erat, hingga teriaknnya akhirnya memecah
keheningan. Teriakan orgasme paling menyedihkan dari yang pernah kupernah
dengar.
Ketika selesai kami bercinta, aku bertanya mengapa ia belum
pernah tidur dengan kekasihnya sampai saat ini. Pertanyaan tolol yang keluar
begitu saja. Ia terdiam sejenak mendengar pertanyaanku itu dan mulai menangis
lagi tanpa suara. Aku mengambil selimut dilemarinya, menyelimuti hampir seluruh
tubuhnya sementara ia masih meringkuk menangis. Aku menyalakan rokokku, duduk
di samping Clara dan memandang hujan bulan Oktober.
Hujan berhenti ketika pagi datang. Clara tidur memunggungiku.
Mungkin ia tidak tidur sama sekali, tubuhnya sekarang tampak kaku, seperti
beku. Aku mencoba beberapa kali berbicara dengannya, tapi dia menjawab atau
bergerak sedikit pun. Aku menatap lama bahunya, tapi pada akhirnya aku bosan
dan sia-sia lalu aku memutuskan untuk bangun.
Lantai masih penuh dengan pakaian yang berserakan, gelas, kaleng-kaleng
bir dan puntung rokok. Kue ulang tahun yang kubawa masih bersisa, namun tak
lagi menarik untuk dimakan. Aku merapikan barang-barang yang tercecer sebisaku
dan minum sambil lalu memerhatikan kamar Clara. Pada mejanya terdapat kamus dan
panduan berbahasa Perancis. Di dinding atas meja itu tergantung kalender, tanpa
ilustrasi atau foto apapun, hanya jumlah hari-hari bulan. Ada tumpukan kertas
kosong di bawah meja. Aku melihat ada buku catatan disana namun tak berani
untuk membacanya.
Aku mengambil pakaian dan segera berpakaian. Dada kemejaku
masih lembab, sedikit basah oleh tangis Clara. Aku masih dapat mencium bau
Clara. Di sampingnya aku mengambil secarik kertas dan menulis: "Aku ingin bicara
panjang denganmu apabila kau sudah merasa tenang. Hubungi aku. Selamat Ulang
Tahun". Aku melihat bahu Clara sepnta, melangkah ke luar dan diam-diam menutup
pintu.
-
Diterjemahkan
sesuka-suka hati disertai penyesuaian sana sini dari Novel Haruki Murakami,
Norwegian Wood (English Version,
translated from Japanese by Jay Rubin) halaman 45 sampai dengan 50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar