“We had longer ways to go. But no matter, the
road is life”
-
Jack Kerouac, On The Road
Untuk
melakukan sebuah perjalanan, saya rasa, tidak perlu mencantumkan label diri
sebagai pelancong. Untuk melakukan perjalanan pula, tak perlu berangkat dengan
tendensi untuk bertamasya. Bisa saja melakukan perjalanan didasarkan oleh
takdir, seperti saya sendiri misalkan, yang melakukan perjalanan atas dasar
takdir.
Baru-baru ini
saya mengingat bahwa saya cukup banyak melakukan perjalanan dari kota ke kota
bukan dengan keinginan saya. Kalau bukan dengan keinginan saya sendiri, maka
keinginan yang maha oke barangkali, makanya saya sebut perjalanan yang saya
lakukan didasarkan oleh takdir. Takdir perjalanan saya diejawantahkan dengan
berbagai cara; ikut dengan orang tua yang pindah tugas, kuliah, kerja, mendapat
tugas dinas dan yang paling baru saya alami adalah SK Mutasi! Hore! Saya tak
perlu repot-repot menunggu liburan panjang untuk melakukan perjalanan dari kota
ke kota tersebut.
Sesungguhnya,
selain atas dasar takdir tersebut saya juga banyak melakukan perjalanan sendiri
atau melakukan perjalanan dalam waktu singkat, namun agar mempermudah kalkulasi
perjalanan, saya hitung dari tempat dimana saya menetap lebih dari 30 hari.
Kurang lebih rinciannya seperti ini; (1) Sekayu, Sumatera Selatan-Tarutung,
Sumatera Utara (1081 KM). Saya lahir di Provinsi Sumatera Selatan dan lebih
tepatnya di Sekayu. Menurut ibu saya, 20an tahun yang lalu, tempat ini minim
akan fasilitas dan tidak layak direkomendasikan untuk menghabiskan hidup ala
selebriti (oke!). Dibawah kesadaran saya, karena waktu itu saya benar-benar
belum sadar sudah menjadi manusia, saya pindah -bersama orang tua saya
tentunya- ke Tarutung, kota kecil di Sumatera Utara namun indah. Perjalanan
jarak jauh pertama yang saya lakukan. Tarutung ini adalah tempat dimana saya
sadar bahwasanya saya seorang manusia, seorang lelaki (dengan dibuktikan dari cara
membuang air kecil), dapat berbicara dan dapat melakukan kegiatan-kegiatan
kinetik. Kurang lebih 5 tahun saya tinggal di Tarutung, yang paling berkesan
adalah kota ini mengenalkan saya pada hidup, dalam artian yang paling
sederhana. (2) Tarutung, Sumatera Utara-Pekanbaru, Riau (423 KM). Walaupun saya
sudah menjadi manusia meskipun memang belum cakap menurut hukum, saya tetap
tidak dapat menolak untuk ikut pindah kota lagi, dari Tarutung ke Pekanbaru. Perjalanan
kedua yang masuk dalam kualifikasi perjalanan atas dasar takdir ini. Kebetulan saya
mampir di kota Pekanbaru cukup lama, sampai saya menamatkan pendidikan sekolah
menengah di kota ini.
Sebenarnya saya
melanggar syarat tulisan ini. Perjalanan kali ini tak murni sekadar takdir, ada
keinginan saya untuk memulai perjalanan hidup sendiri. Rasanya sangat sayang
melewatkan bagian mampir ke kota terbaik yang pernah saya tinggal ini. (3) Pekanbaru,
Riau-Yogyakarta, DI Yogyakarta (1868 KM). Saya pergi ke Jogja dengan tujuan
kuliah. Tinggal di kota ini dalam kurun waktu kurang lebih 4 tahun mengenalkan
saya dengan hidup lebih jauh, lebih rumit dan lebih berarti. Tidak hanya
sekadar mengenalkan saja, kota ini lebih tepatnya mengajarkan saya tentang
hidup. Kalau hidup sekadar mampir untuk minum, maka saya mampir di kota ini
untuk minum sangat banyak, perkara rasa minumannya memang bermacam-macam namun
tetap membuat saya haus untuk mampir lagi ke kota ini.
Fase ketiga
dalam hidup saya, seperti orang pada umumnya, setelah lahir, sekolah kemudian
harus bekerja, saya mulai di Jakarta. Takdir juga yang mengharuskan saya
berangkat ke Jakarta. (4) Yogyakarta, DI Yogyakarta-Jakarta, DKI Jakarta (549
KM). Pengalaman pertama saya untuk bekerja dan menghasilkan uang untuk memenuhi
kebutuhan hidup sendiri. Tidak begitu lama, saya mendapat tugas di kota lain
dan melakukan perjalanan lagi, tidak jauh-jauh dari jakarta, cukup bergerak ke
selatan sedikit. (5) Jakarta, DKI Jakarta-Serpong, Banten-Jakarta, DKI Jakarta
(65.8 KM). Setahun bekerja di Serpong saya kembali lagi ke Jakarta. Seiring waktu
juga, saya mendapat beberapa tugas dari kantor ke luar kota ada dua kota yang
saya habiskan untuk tinggal diatas 1 bulan; (6) Jakarta, DKI Jakarta-Surabaya,
Jawa Timur (786 KM) dan (7) Jakarta, DKI Jakarta-Manado, Sulawesi Utara (3867
KM). Sampai akhirnya saya memutuskan pindah kerja dan kebetulan diterima di
sebuah instansi pemerintah.
Seperti yang
saya bilang sebelumnya, takdir bisa menjelma dengan berbagai cara, salah
satunya adalah SK mutasi. Penempatan pertama saya sekaligus perjalanan pertama
saya selaku pegawai di salah satu instansi pemerintah. (8) Jakarta, DKI
Jakarta-Pontianak, Kalimantan Barat (811 KM). Melengkapi 9450,8 km perjalanan
di usia saya yang belum genap 23 tahun. Sebulan lewat 3 hari sudah saya tinggal
di kota ini, sebulan yang pertama karena saya tidak akan pernah tahu sampai
kapan tinggal di kota ini. Saya belum mengenal betul kota ini, provinsi ini,
namun bertemu dan berkenalan dengan orang-orang yang menyenangkan memberikan kesan kota
ini akan menyenangkan. Ya disini saya bertemu orang-orang yang sungguh menyenangkan, yang menyambut saya dengan ramah dan hangat, berbaik hati mengajak saya berkenalan dengan kota
ini. Hal itu menyadarkan saya bahwa perjalanan atas dasar takdir ini memang
kehendak yang maha oke untuk mengajarkan saya untuk menyenangi hidup. Yang maha
oke tersebut pulalah yang memainkan takdir dengan cara-cara menyenangkan.
***
Suatu hari,
seorang asing pernah berpendapat menarik tentang hidup kepada saya. Katanya waktu
itu, hidup seperti sebuah kereta dimana kita adalah keretanya yang sedang
berjalan di satu rel ke suatu tujuan. Selama perjalanan itu kita akan berhenti
ke beberapa tempat, melihat-lihat sejenak. Selama perjalanan itu, orang-orang
akan keluar dan masuk, orang-orang tersebut adalah keluarga, teman, sahabat,
relasi, pacar, istri, atau siapapun yang akan menemani perjalanan kita. Bagaimanapun
dan siapapun yang ada dalam perjalanan tersebut, kereta itu tetap memiliki
tujuannya masing-masing dan satu stasiun pemberhentian terakhir.
Pontianak,
20 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar