“Kalau mati jangan disini dong!”
Ibu mengeluhkan mayat yang telungkup kaku di bawah pohon
mangga di halaman rumah kami. Mendadak suasana pagi hari yang biasanya tenang
menjadi gaduh. Sedang ayah mencari-cari karung goni untuk membungkus mayat itu,
Pak Ketua RT datang menyempil dari kerumunan warga yang mengelilingi rumah kami
untuk melihat mayat tersebut. Bau busuk mulai menyeruak dan bergaya serupa,
semua orang menutup hidungnya masing-masing. Aku tidak lagi selera makan pagi
ini.
Barangkali mayat itu sudah ada dibawah pohon mangga halaman
rumah kami sejak malam tadi, ketika kami semua sudah tidur pulas. Tubuhnya
membengkak akibat kebanyakan menyerap air hujan yang turun semalaman dan juga
tubuhnya sudah berubah warna jadi biru kehitaman. Yang membuatku heran, juga
membuat semua orang heran pula, siapa gerangan mayat ini? siapa dia sewaktu
hidupnya?
Wajahnya penuh bekas pukulan, namun senyum mengatup
mulutnya. Dadanya tembus oleh peluru. Pada kedua Lengannya dipenuhi tato yang
tersamar oleh biru kehitaman yang menjadi warna tubuhnya kini. Dugaan Pak Ketua
RT, lelaki ini adalah seorang preman yang ditembak mati petrus tadi malam dan
dibuang disini ketika semuanya sudah tidur. Okelah kalau begitu, sebagaimana
hampir keseluruhan warga mengamini dugaan Pak Ketua RT termasuk bapak dan ibuku
yang masih kerepotan mengurusi mayat ini. maka bolehlah kita sahkan mayat ini
semasa hidupnya adalah seorang preman yang tadi malam dibunuh petrus sebagai
bagian dari operasi clurit guna membasmi preman. Anak-anak yang jadi penonton
berteriak: Hore! Ada preman mati satu lagi!
Pak Ketua RT bilang, bapak dan ibuku seharusnya bangga
sudah kebagian andil dalam pembasmian preman dengan menyediakan halaman rumah
sebagai tempat pembuangan mayat preman. Bapakku terlihat tersenyum bangga
mendengar ucapan Pak Ketua RT. Ibu masih sibuk mengatur pemuda-pemuda kampung ini
untuk membantu memasukkan mayat dalam karung goni. Dengan adanya operasi clurit
ini, negara termasuk kampung ini akan menjadi lebih tenteram dengan ketiadaan
preman yang berkeliaran lagi, lanjut Pak Ketua RT.
Entahlah benar atau tidak ucapan Pak Ketua RT tersebut,
bagiku kehadiran mayat itu hanya mengacaukan dua hal pagi ini. pertama
mengacaukan selera makan pagiku dan kedua mengacaukan pikiranku. Melihat mayat
itu aku terbayang ada anak dan istri yang masih menunggu pulangnya lelaki ini. mungkin
satu piring nasi putih mengepul masih tersisa untuk jatah lelaki ini
kalau-kalau nanti pulang kelaparan.
...dor, dor, dor! Dengan hilangnya nyawa preman ini maka
Pak Ketua RT serta warga kampung ini berharap lenyaplah keresahan masyarakat.
Aku tak kenal wajah lelaki ini, setahuku yang meresahkan masyarakat kampung ini
justru ketua RT itu sendiri dengan serangkaian proposal sumbangan yang disebar
kerumah-rumah.
Dalam beberapa menit kemudian, mayat itu sudah masuk karung
goni masih dalam keadaan tidak karuan. Karung itu diarak pemuda-pemuda dan
diikuti seluruh warga. Anak-anak masih berlompat-lompat menggapai karung goni
tersebut. Bapak-bapak kampung ini berteriak mengutuki mayat lelaki tersebut
sedang bagian ibu-ibu yang menyumpahi mayat tersebut, mereka sebut lelaki itu
tak akan masuk sorga. Sedang ibuku berteriak sendiri:
“Kalau mati jangan disini!”